Sukses

Minim Sentimen Positif, Rupiah Hampir Sentuh 14.000 per Dolar AS

Mengikuti China, Vietnam juga melemahkan mata uangnya Dong atau devaluasi Dong untuk ketiga kalinya pada 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan sepanjang perdagangan Jumat (21/8/2015). Sentimen negatif yang menekan rupiah masih mengenai devaluasi Yuan dan ketidakpastian kenaikan suku bunga AS di tengah keraguan pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menurut data Bloomberg, nilai tukar berada pada kisaran level 13.950 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pukul 10.20 WIB. Sejak pagi hingga menjelang siang, nilai tukar rupiah berada di kisaran 13.889 per dolar AS hingga 13.950 per dolar AS.

Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali melemah 0,4 persen menjadi 13.895 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.838 per dolar AS.

Head of Analsis PT Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra mengatakan, devaluasi yuan masih menjadi gejolak di pasar keuangan international. "Devaluasi tersebut dikhawatirkan akan diikuti dengan negara lain, sehingga memicu currency war (perang mata uang)," tuturnya kepada Liputan6.com.

Ia melanjutkan, tinggal selangkah lagi rupiah menyentuh level 14.000 per dolar AS karena belum adanya sentimen positif di indonesia, Rupiah akan mendapatkan dukungan jika bank sentral AS tidak segera menaikan suku bunganya.

Sementara itu, Analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi agar rupiah tidak melemah tajam, di sisi lain bank sentral AS berupaya agar dolar AS tidak terlalu menguat. Hal itu lantaran penguatan dolar AS dapat mempengaruhi kinerja perusahaan AS.

"Dari rilis notulen pertemuan bank sentral AS menunjukkan kalau The Federal Reserves belum yakin untuk menaikkan suku bunga sehingga kembali menimbulkan ketidakpastian," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, sentimen negatif lainnya datang dari Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah China yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata Rully.

Pada pekan lalu tepatnya pada selasa (11/8/2015), People's Bank of China (PBC) atau Bank Sentral China sengaja melemahkan mata uangnya. Pelemahan itu sekitar 1,9 persen terhadap dolar Amerika Serikat.

Hal itu bertujuan meningkatkan daya saing ekspor demi mempercepat laju ekonomi negeri tirai bambu. Pemangkasan tersebut memicu Yuan anjlok hingga mengalami penurunan harian terbesar sejak Januari 1994.

Mengikuti China, Vietnam juga melemahkan mata uangnya Dong atau devaluasi Dong untuk ketiga kalinya pada 2015. Langkah itu dilakukan Vietnam untuk memperkuat ekspor lesu dan menghadapi tantangan dari devaluasi Yuan.

Di sisi lain, faktor internal lainnya yang menekan nilai tukar rupiah dipicu dari persepsi pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Rully mengatakan, ada data-data ekonomi yang belum meyakinkan pelaku pasar meski Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan US$ 1,3 miliar pada Juli 2015.

"Neraca perdagangan memang surplus, tetapi neraca modal defisit. Investor juga sudah keluar dari pasar modal," tutur Rully. (Ilh/Gdn)