Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus tertekan hingga hampir menembus level 14.000 per dolar AS. Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengingatkan pemerintah untuk waspada. Sebab jika pelemahan rupiah terus berlanjut, maka akan merugikan sebagian pelaku industri.
"Pemerintah harus menjaga angka psikologi nilai rupiah agar jangan diatas 14.000 per dolar AS, karena situasi ini membuat ketidak pastian bagi dunia usaha," terang Sarman saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (22/8/2015).
Baca Juga
Dijelaskan Sarman, ada beberapa industri yang paling tertekan akibat pelemahan rupiah ini. Industri-industri tersebut adalah yang bahan baku produksinya masih impor.
Advertisement
Dengan rupiah makin melemah, maka bahan baku industri tersebut semakin mahal. Jika biaya bahan baku mengalami peningkatan, maka secara langsung akan berimbas ke harga produknya.
"Industri otomotif, tekstil atau garmen dan elekronik sangat terpukul dengan kurs rupiah kita yang semakin lemah, ketiga sektor industri ini sangat tergantung bahan baku impor," tegas dia.
Analis pasar uang PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi agar rupiah tidak melemah tajam, di sisi lain bank sentral AS berupaya agar dolar AS tidak terlalu menguat. Hal itu lantaran penguatan dolar AS dapat mempengaruhi kinerja perusahaan AS.
"Dari rilis notulen pertemuan bank sentral AS menunjukkan kalau The Federal Reserves belum yakin untuk menaikkan suku bunga sehingga kembali menimbulkan ketidakpastian," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, sentimen negatif lainnya datang dari Vietnam. Negara tersebut mengikut langkah China yang melemahkan mata uangnya. "Vietnam melemahkan mata uang Dong menambah tekanan terhadap rupiah," kata Rully.
Rully menuturkan, sentimen eksternal kurang bagus tersebut membuat rupiah dapat tembus 14.000 per dolar AS.
Sementara itu, Pengamat Valas, Farial Anwar membeberkan penyebab depresiasi rupiah dari faktor global. Pertama, sambungnya, ada dua spekulasi yang beredar soal penyesuaian Fed Fund Rate yakni tetap diperkirakan pada September, namun ada pula yang memprediksi ditunda.
"Dengan adanya devaluasi Yuan, diperkirakan kenaikan suku bunga acuan AS akan tertunda, bisa mundur. AS sangat kecewa dengan devaluasi Yuan karena mereka ingin Yuan dimahalkan bukan dibuat murah karena AS mengalami defisit perdagangan dengan China akibat serbuan barang-barang asal sana," ucap dia.
Farial menjelaskan, tindakan devaluasi diikuti Vietnam yang sengaja mendepresiasi mata uangnya Dong. Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran terjadi perang mata uang (currency war).
"Dikhawatirkan semua negara berusaha mendepresiasi mata uangnya. Kita lihat saja, nanti negara mana lagi yang akan bereaksi sama, apakah Korea, Jepang dan lainnya. Karena dengan langkah itu, dolar makin menguat," tegas dia.
Kebijakan Yuan dan Vietnam, lanjut Farial, semakin menambah ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan AS karena mengganggu ekspektasi pelaku pasar.
Dari sisi dalam negeri, Farial mengatakan, harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional.
(Yas/Ndw)