Sukses

Rupiah Terpukul, Siapa yang Salah?

Pelemahan rupiah bukan hanya salah pemerintah. Lalu siapa yang salah?

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terus tertekan sehingga hampir menyentuh level 14.000 per dolar AS. Pelemahan ini juga menjadi yang tertinggi dalam lima tahun belakangan.

Banyak pelaku industri mengeluh, terutama yang memiliki bahan baku impor‎. Bagaimana tidak? Dengan rupiah semakin melemah, maka biaya impor bahan baku akan semakin mahal. Akibatnya, produk-produk yang dihasilkan harganya langsung melonjak.

Kondisi ini diperburuk dengan pelemahan ekonomi Indonesia yang pada kuartal II 2015 hanya berada di 4,6 persen. Ini mengakibatkan daya beli masyarakat langsung menurun drastis. Lalu siapa yang bertanggung jawab dengan kondisi seperti ini?

‎Kepala Divisi Treasury Bank Central Asia (BCA) Branko Windoe mengatakan, tidak sepenuhnya pemerintah harus bertanggung jawab akibat kondisi ekonomi Indonesia seperti saat ini. Menurutnya, masyarakat juga tak kalah penting menjadi pihak yang harus bertanggung jawab.

Dia mengatakan, budaya masyarakat Indonesia yang masih gemar dan mendewakan barang-barang impor, dinilai harus mulai diubah.‎ Ini yang mengakibatkan permintaan dolar AS semakin tinggi di Indonesia.

"Sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan pemerintah, Bank Indonesia, atau pengusaha, kalau masyarakatnya masih punya mindset seperti itu," papar Branko saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (22/8/2015).

Dicontohkannya, saat ini banyak tas-tas impor yang masuk ke Indonesia yang juga menjadi buronan sebagian masyarakat. Padahal, menurut Branko, banyak tas-tas buatan Indonesia‎ yang memiliki kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan tas-tas impor.

Untuk itu, perlu ada peran pemerintah untuk meningkatkan branding dan kualitas produk industrinya supaya tidak hanya sedikit industri lokal saja yang mampu bersaing dengan produk impor, namun seluruhnya.

"Indonesia itu yang perlu dolar AS siapa sih? Ya importir-importir itu," tegas dia.

Branko menambahkan, Bank Indonesia sebagai penyelenggara pasar keuangan, dinilai tidak harus jor-joran menggunakan cadangan devisanya hanya untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Menurutnya, Bank Indonesia (BI) hanya perlu menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sesuai dengan kondisi fundamental Indonesia. "Tapi kalau Pak Agus Marto (Gubernur BI) sudah bilang rupiah undervalue, berarti itu BI akan turun di pasar," ungkap dia.

Serangan global

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnyamengungkapkan, kondisi saat ini sedang tidak rasional. Artinya tidak mencerminkan fundamental karena serangan sentimen negatif berlebihan dari global.

"Kondisi sekarang tidak rasional, yaitu mungkin karena khawatir ada perang mata uang, perang harga di minyak, devaluasi mata uang dan spekulasi AS akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya," ucap dia.

Serbuan sentimen global ini, lanjut Bambang, berdampak terhadap hampir seluruh mata uang dan bursa saham di dunia, bahkan pasar saham AS. Dia menilai, seluruh dunia terhimpit dari permasalahan yang muncul.

"Ini berimbas ke semua, harga saham di AS saja jatuh, semua bursa saham kena karena tidak rasional. Dunia ini sedang tidak ada jalan keluar untuk bisa segera memulihkan kondisi perekonomian," jelasnya.

Dia menegaskan, pemerintah pasti akan menggelar rapat bersama Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) apabila timbul kekhawatiran terhadap pelemahan kurs rupiah yang semakin dalam.

"Pokoknya kalau ada kekhawatiran itu, pasti ada panggilan untuk meeting di FKSSK. Sekarang saja belum ada panggilan untuk meeting," ujar Bambang.

(Yas/Ndw)