Sukses

Penjelasan Lengkap Pertamina Soal Tudingan Jual Elpiji Kemahalan

Dalam dua tahun, Pertamina rugi Rp 10 triliun dari jualan elpiji 12 kilogram .

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding PT Pertamina (Persero) menjual harga jual elpiji non subsidi 12 kilogram (kg) terlampau mahal. Hal ini pun dibantah oleh Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro.

Pasalnya, jika dibandingkan dengan produk elpiji non subsidi yang dijual produsen selain Pertamina, harga elpiji 12 kg jauh lebih murah. Produsen lain menjual elpiji tabung 5,5 kg di level distributor, atau setara Rp 19 ribu per kg.

"Sementara saat ini harga elpiji 12 kg, Pertamina rata-rata menjual Rp 142 ribu per tabung di level agen, atau setara Rp 11.833 per kg," tutur Wianda di Jakarta, Sabtu (22/8/2015).

Dia juga menjelaskan penyesuaian harga elpiji non subsidi, termasuk elpiji 12 kg, yang telah mencapai keekonomian dapat mengundang hadirnya kompetitor yang dapat menciptakan bisnis elpiji lebih sehat di masa mendatang.

Wianda mengungkapkan sebelum tahun 2015, Pertamina mengalami kerugian dalam memasarkan elpiji 12 kg, dengan nilai kerugian mencapai Rp 5,7 triliun pada 2013 dan Rp 4,3 triliun pada tahun berikutnya.

"Dengan penyesuaian harga elpiji 12 kg sesuai harga pasar saat ini, di tahun 2015 Pertamina mulai mendapatkan laba," jelasnya.

Di sisi lain, elpiji 12 kg merupakan produk non subsidi, di mana sesuai Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009 pasal 25 dinyatakan, harga jualnya ditetapkan oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada harga patokan elpiji (CP Aramco), kemampuan daya beli konsumen dalam negeri serta kesinambungan penyediaan dan pendistribusian.

"Dalam pasal 2 disebutkan bahwa penetapan harga jual elpiji dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri ESDM," lanjut Wianda.

Penyesuaian harga

Di awal 2015, Pertamina mulai dapat menyesuaikan harga elpiji 12 kg sesuai harga pasar, dan penyesuaian harga (kenaikan/penurunan) dilakukan setiap bulan hingga bulan April 2015 mengikuti fluktuasi harga bahan baku elpiji (CP Aramco) dan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Dalam pelaksanaan penyesuaian harga tersebut, Pertamina selalu berpedoman pada Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2009 pasal 25 tersebut di atas, serta penyesuaian harga selalu dilaporkan kepada Menteri ESDM serta kementerian terkait lainnya.

Namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, lanjut Wianda, pola penyesuaian harga bulanan seperti ini menimbulkan gejolak harga di masyarakat dan jalur distribusi. Di saat harga turun, masyarakat kurang merasakan dampaknya, dan jalur distribusi mengalami kerugian akibat sudah menebus harga tinggi dan menjual dengan harga yang lebih rendah.

"Sementara di saat harga naik, sektor usaha yang terkait elpiji serta konsumen rumah tangga paling merasakan dampaknya, yang pada akhirnya mendorong inflasi yang cukup tinggi," terangnya.

Sebagai informasi, pola konsumsi elpiji 12 kg berbeda dengan barang lainnya di mana rata-rata penggunaan berdasarkan riset lembaga independen dikonsumsi lebih dari sebulan untuk setiap tabungnya. Selain itu, rantai distribusi elpiji 12 kg melibatkan sub Agen dan warung tidak sesuai apabila dilakukan penyesuaian dalam periode yang lebih pendek.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan untuk menjaga kondusifnya suasana menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, pasca penyesuaian harga elpiji 12 kg per 1 April 2015. Perseroan berusaha untuk menjaga kestabilan harga atau semaksimal mungkin tetap yang diharapkan tidak memberikan kontribusi inflasi tambahan.

"Upaya ini dilakukan Pertamina sembari mengevaluasi pergerakan harga minyak dan gas yang belum stabil, penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah yang menunjukkan tren meningkat hingga akhir tahun serta mengantisipasi season akhir tahun yang memiliki kebiasaan trend meningkat di tahun-tahun sebelumnya," urai Wianda.

Pertamina selanjutnya akan melakukan evaluasi secara berkala terkait harga jual elpiji non subsidi. Perseroan juga akan melakukan program promosi dan undian berhadiah guna lebih menarik masyarakat menggunakan elpiji 12 kg serta mengurangi pengguna yang berpindah ke elpiji 3 kg sehingga subsidi Pemerintah benar-benar akan digunakan oleh masyarakat yang berhak mendapatkannya.

"Pada penyesuaian harga periode berikutnya, tetap akan ada kemungkinan Pertamina mengalami kerugian apabila asumsi CP Aramco dan kurs rupiah terhadap dolar AS yang digunakan pada saat perhitungan harga baru lebih rendah daripada realisasinya," tutur dia.

Dari sisi konsumen, berdasarkan hasil survei lembaga independen, elpiji 12 kg hanya dikonsumsi oleh sekitar 6 persen masyarakat Indonesia dengan profil kalangan menengah ke atas (memiliki lemari es dan komputer) dengan pengeluaran untuk LPG lebih rendah dari pengeluaran untuk biaya komunikasi dan hiburan. Sehingga segmen pengguna elpiji 12 kg berbeda dengan elpiji 3 kg bersubsidi.

"Dengan penyesuaian harga yang telah mencapai keekonomian sebenarnya justru dapat menjadi daya tarik bagi hadirnya kompetitor yang dapat menciptakan bisnis elpiji lebih sehat di masa mendatang," tegas Wianda. (Ndw/Igw)