Sukses

Menkeu: Jangan Panik, Ekonomi RI Kini Beda dengan Krismon 1998

Menkeu, Bambang Brodjonegoro mengatakan, saat ini Indonesia masih mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif meski melambat.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menegaskan kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat berbeda dengan periode 1997-1998 ketika ada badai krisis moneter (krismon). Atas dasar itu, pemerintah mengimbau seluruh masyarakat dan pelaku pasar tidak panik dalam menghadapi keadaan tersebut.

Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro mengatakan, jangan hanya membandingkan kondisi saat ini dengan era 1998 dari sisi kurs atau nilai tukar rupiah.

"Kondisi makronya jelas berbeda, meski keadaannya sama," tegas dia di Jakarta, Selasa (25/8/2015).

Dirinya menyebut, Indonesia masih mendulang pertumbuhan ekonomi positif walaupun melambat dengan realisasi 4,7 persen di semester I 2015. Catatan inflasi pun sebesar 2 persen year to date dan year to year sebesar 7 persen.

Sementara neraca perdagangan Indonesia surplus dan defisit transaksi berjalan menyempit dari 3 persen di tahun lalu menjadi 2,1 persen-2,2 persen.

"Fundamental ekonomi makro kita baik, tapi memang kita tidak bisa menghindari faktor global. Di satu sisi AS ingin memperketat kebijakan tapi di sisi lain China ingin mendevaluasi mata uangnya," ucap Bambang.

Dilihat dari sektor perbankan, kata Bambang, likuiditas bank saat ini berlebih dengan realisasi Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat tajam. Situasi tersebut berbeda dengan kondisi krisis 1997-1998.

Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan naik menjadi 95 persen dari sebelumnya di periode pengetatan likuiditas hanya 92 persen-93 persen. Serta pertumbuhan kredit Usaha Kecil Menengah pun masih 18 persen-19 persen.

"Yang penting kita jangan panik, jangan bereaksi berlebihan. Kita jaga semua indikator penting, tentu BI dengan tugasnya. Pemerintah menjaga Surat Berharga Negara (SBN). Kita dan otoritas selalu hadir di pasar," ujar Bambang.

Seperti diketahui, pasar modal dan keuangan Indonesia alami guncangan di awal pekan. Hal itu seiring sentimen negatif dari China mendevaluasi atau melemahkan mata uang Yuan. Langkah China tersebut menambah kekhawatiran terhadap ekonomi China melambat.

Ditambah memicu spekulasi kalau bank sentral Amerika Serikat (AS) akan menunda kenaikan suku bunga pada September 2015.
Nilai tukar rupiah pun akhirnya menembus level 14.000 per dolar AS. IHSG anjlok 3,97 persen ke level 4.163,73 pada perdagangan saham Senin 24 Agustus 2015. (Fik/Ahm)

Video Terkini