Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengomentari perekonomian saat ini melalui akun Twitternya @SBYudhoyono bahwa kondisi saat ini sudah berada dalam situasi 'lampu kuning'. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kondisi lemahnya ekonomi saat ini terjadi karena faktor dunia.
"‎Kita paham benar Pak SBY, kita tak underestimate (pelemahan Rupiah), tapi langkah-langkah ini langkah sedunia. Jadi memang kita melemah ke dolar AS, tapi tidak ke mata uang yang lain," jelas JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
JK mengatakan daya beli Indonesia sama dengan China. Bila dibandingkan dengan negara tetangga, daya beli dalam negeri lebih kuat dibandingkan Malaysia.
‎"Memang kita lemah kepada dolar AS, karena dolar kuat tapi yang lainnya tidak. Dolar AS bukan satu-satunya pegangan dan ukuran. Yen juga ukuran. Yen dengan kita tak berubah tetap 1 yen masih Rp 120," tutur dia.
Situasi saat ini juga jauh dari krisis yang terjadi pada 1998‎ lalu. Salah satu pembeda adalah daya beli masyarakat. JK mencontohkan bila 10 tahun lalu 1 dolar AS, dengan kurs sekitar Rp 9.000, cukup untuk makan di restoran Padang.
"‎Tapi diukur nominal tahunannya jangan samakan rupiah 10 tahun lalu dengan sekarang. Kalau dulu 15 tahun lalu Rp 16 ribu, sekarang Rp 14 ribu mendekati, ya memang, tapi itu 15 tahun lalu beda nilainya," tegas JK.
‎Saat JK rapat soal kredit usaha rakyat (KUR) dengan Menteri Koordinat‎or Perekonomian Darmin Nasution, tidak disinggung soal penguatan rupiah. Ia mengatakan Bank Indonesia yang bertugas untuk melakukan penguatan tersebut.
Pemerintah juga tidak akan membentuk Crisis Center untuk ‎mengatasi masalah ini. Koordinasi biasa dirasa sudah cukup. "Sebenarnya di pemerintahan juga itu otomatis saja terbentuk. Artinya urusan presiden, saya, menko-menko bekerja itu juga sistemnya sudah dilaksanakan. Tidak (perlu Crisis Center)," tandas JK.
Sebelumnya, Presiden RI ke-6 SBY akhirnya angkat bicara mengkritiki kondisi ekonomi yang dihadapi Asia termasuk Indonesia. Dia mengingatkan negara-negara Asia harus menyadari bahwa perkembangan ekonomi di kawasan sudah lampu kuning.
"Cegah jangan sampai merah," kata SBY dalam kicaunya pada akun twitter resminya @SBYudhoyono.
Jatuhnya nilai tukar, indeks saham gabungan dan harga minyak dinilai SBY telah melebihi kewajaran. Sedangkan kondisi makro dan mikro ekonomi, sektor keuangan serta sektor riil telah terpukul. "Ekonomi Asia sedang susah, cegah isu lain yang serius. Saya berharap siaga perang dan ketegangan antara Korut dan Korsel segera berakhir," pesan Ketua Umum Partai Demokrat itu.
Sementara di Indonesia, SBY menilai perlambatan ekonomi sudah mulai terdampak. Hal ini perlu dicegah agar rakyat tidak makin cemas, sehingga pemerintah tidak kehilangan kepercayaan. "Menurut saya, manajemen krisis harus diberlakukan. Jangan underestimate dan jangan terlambat. Apalagi pasar dan pelaku ekonomi mulai cemas," kata SBY.
Dia juga yakin percaya pemerintah bisa mengatasi gejolak ekonomi saat ini. Di jajaran Kabinet Kerja dan pemerintah lanjut SBY, tidak sedikit yang memahami ekonomi dan bisa ikut mengatasi gejolak. Namun diperlukan tim kerja yang solid dan efektif. "Maaf, sebaiknya lebih fokus dan serius, serta cegah hal-hal yang tak perlu," ungkap SBY.
SBY juga mengingatkan, Indonesia sering mengalami gejolak. Dalam krisis ekonomi 1998, Indonesia jatuh, tetapi dalam krisis gobal 2008 selamat. "Ambil pengalamannya. Tahun 2008-2009 dulu kita bisa minimalkan dampak krisis global, karena pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ekonom dan pimpinan media bersatu," terang dia.
Menurut dia, saat ini yang diperlukan adalah kepemimpinan dengan arahan yang jelas yakni solusi, kebijakan yang cepat dan tepat serta dukungan semua pihak. (Alvin/Ndw)
Advertisement
‎