Liputan6.com, Hong Kong - Perlambatan ekonomi China ditambah bank sentral China melemahkan mata uang Yuan telah membuat kepanikan di pasar saham dan keuangan. Akan tetapi sejumlah ekonom mengatakan jangan terlalu panik.
Memang kinerja indeks saham tidak menguntungkan. Indeks saham Shanghai melemah lebih dari 40 persen, dari posisi tertingginya pada Juni 2015. Indeks saham Shenzhen bahkan lebih buruk lagi. Sementara itu, pemerintah China berusaha keras untuk meredam kepanikan di pasar saham, akan tetapi tak terlalu besar.
Baca Juga
Meski bursa saham China kelihatan tertekan. Indeks saham Shanghai masih menguat 35 persen dari tahun lalu, sementara itu indeks saham Shenzhen menguat 45 persen. Sementara itu, masyarakat China sebagian besar investasi di properti dan simpan dana tunai. Investor asing pun hanya memiliki saham sekitar 1,5 persen di pasar saham. Sehingga dampak bursa saham China tertekan ke ekonomi China tidak terlalu besar.
Advertisement
"Investor bereaksi berlebihan terhadap risiko ekonomi China. Bursa saham yang sudah melonjak tajam hingga akhirnya jatuh menunjukkan kalau tidak terjadi apa-apa di ekonomi China," ujar Mark Williams, Ekonom Capital Economics, seperti dikutip dari CNN Money, Kamis (27/8/2015).
Hampir setiap cerita soal aksi jual di bursa saham global dipicu karena kekhawatiran atas ekonomi China. Dalam beberapa hari terakhir fokus berpindah dari kondisi bursa saham terhadap kesehatan ekonomi China. Hal itu lantaran data ekspor China melemah dan aktivitas manufaktur melambat pada Agustus 2015.
Akan tetapi indikator lainnya kalau terjadi pertumbuhan upah, diikuti konsumsi. "Data terbaru lebih positif dari pada berita utama," tambah Williams.
Hal senada disampaikan ekonom UBS. Terlepas dari laporan manufaktur yang lemah kini belum banyak informasi baru untuk membuat panik. Pemerintah China sendiri mengharapkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen pada 2015. Perbaikan penjualan properti terjadi membantu perbaikan ekonomi.
Saat ini ekonomi China melemah seiring pemerintah mengubah kekuatan ekonominya dari infrastruktur menjadi berbasis konsumsi.
Pemerintah China juga memiliki sejumlah peluru untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Pertama, bank sentral memilih memangkas suku bunga lebih rendah. Selain itu memotong jumlah uang tunai di bank yang diperlukan untuk menjaga cadangan. China mempercepat proyek-proyek infrastruktur yang direncanakan, dan menggelar stimulus fiskal tambahan.
"Pembuat kebijakan China masih memiliki amunisi kebijakan yang cukup baik di moneter dan fiskal," tulis ekonom HSBC.
Selama krisis keuangan global pada 2008, partai Komunis China menawarkan paket stimulus senilai US$ 600 miliar. Analis menilai, para pejabat pemerintah China tidak akan ragu untuk merespons cara jika ekonomi dalam bahaya.
Meski demikian, ada sejumlah risiko yang dihadapi China yaitu utang pemerintah daerah sangat tinggi. Ditambah sektor properti merupakan titik lemah. "Mereka dapat memiliki krisis jauh lebih dalam," ujar Kenneth Rogoff, Profesor Harvard. (Ahm/Gdn)