Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak mega proyek kereta cepat yang akan dibangun oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengungkapkan ada tujuh alasan mengapa pihaknya menolak proyek kereta cepat bernilai mencapai Rp 73 triliun tersebut (tergantung investornya).
"Pertama, membangun KA super cepat tidak terdapat dalam master plan kebijakan transportasi nasional. Ini artinya KA super cepat tidak jelas arah dan tujuannya, untuk apa dan untuk siapa?," ujar Tulus, Jumat (4/9/2015).
Kedua, menurut Tulus membangun KA super cepat bukan hal mendesak, tidak ada urgensinya. Yang sangat mendesak adalah kebutuhan transportasi umum di kota-kota besar, yang saat ini mati suri. Merevitaliasi angkutan umum jauh lebih bermartabat dari KA super cepat yang hanya memanjakan investor belaka.
Advertisement
Ketiga, Tulus menuturkan, membangun KA super cepat juga bentuk diskriminasi, antara Jawa dan luar Jawa. "Ini jelas bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang katanya akan fokus membangun infratruktur di luar Jawa, khususnya Indonesia Timur," tegas Tulus.
Seharusnya yang dibangun adalah KA di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan atau merevitalisasi KA di Jawa sekalipun.
Keempat, KA super cepat tidak dibangun dengan dana APBN. "Tidak dengan dana APBN tetapi dengan dana hutang, itu ya sami mawon, malah lebih berbahaya. Untuk apa meminjam dana dari luar negeri tetapi untuk membangun sesuatu yang tidak ada urgensinya?," kata Tulus.
Kelima, membangun KA super cepat juga bukan hal yang efisien dari sisi kebijakan transportasi. Untuk apa dengan KA super cepat, tetapi untuk menuju ke lokasi stasiun perlu waktu lebih dari 2 jam, karena didera kemacetan? Akan lebih elegan mengatasi kemacetan di Jakarta daripada membangun KA super cepat.
Keenam, Tulus menyebutkan membangun KA super cepat lebih merupakan politik mercusuar. "Ingin sok disebut ultra modern, padahal infrastruktur transportasi yang utama masih kedodoran? Negara-negara yang membangun KA super cepat, adalah negara dengan sistem transportasi dan angkutan umum yang sudah beres," kata Jokowi.
"Tujuh, selebihnya, membangun KA cepat juga merupakan kebijakan high risk, jika di kemudian hari mengalami kegagalan. Siapa yang akan menanggungnya, apalagi dengan hutang yang segunung? ," tutur Tulus.
Tulus menilai, sebaiknya, fokus pemerintah adalah pembangunan infrastruktur transportasi yang terjangkau, aksesibilitas tinggi dan terintegrasi. Bukan KA cepat yang padat modal, padat teknologi, tapi miskin pengalaman. (Yas/Ahm)