Sukses

Eksportir Minyak Sengsara Jika Harga Tumbang ke US$ 30 per Barel

Harga minyak dunia akan berada di bawah US$ 40 per barel hingga akhir tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menilai harga minyak dunia akan berada di bawah US$ 40 per barel hingga akhir tahun ini. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi negara pengimpor minyak, namun sebaliknya bisa menjadi petaka buat eksportir minyak. 
 
"Sekarang saja sudah US$ 45 per barel, jadi mungkin harga minyak di level lebih dari US$ 30 per barel, sekira US$ 38-39 per barel. Itu sudah cukup rendah," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin (7/9/2015).
 
Menurut Marwan, harga minyak dunia merosot tajam karena terjadi kelebihan suplai. Pasokan lebih banyak dibanding permintaan, sehingga menyebabkan penurunan harga. Kelebihan suplai, lanjutnya, diakibatkan penemuan energi baru shale gas dan shale oil di Amerika Serikat (AS) sehingga mengguncang harga minyak dunia. 
 
"Tapi biaya produksi shale gas dan shale oil masih sangat tinggi. Jad sampai kapan mereka akan bertahan? Jadi saya rasa penurunan harga minyak tidak akan lama," paparnya. 
 
Dirinya menilai, jika harga minyak dunia anjlok sampai level US$ 30 per barel, maka dampak negatifnya sangat besar bagi negara-negara pengekspor minyak mentah, seperti Arab Saudi, Rusia, Venezuela, Iran dan negara lain.   
 
"Ini jangan sampai ada di harga US$ 30 per barel karena banyak sekali yang akan bangkrut, tidak bisa bayar utang. Sekarang saja sudah banyak yang bangkrut di AS. Saudi Arabia, Rusia, Venezuela dan Iran juga hampir bangkrut karena mengalami defisit anggaran ," tegas Marwan.   
 
Sedangkan bagi negara pengimpor minyak dan bahan bakar minyak (BBM) seperti Indonesia, sambung dia, akan menuai berkah dari jatuhnya harga minyak dunia. Namun kondisi tersebut tetap harus diwaspadai karena berpengaruh juga terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 
 
"Kita kan impor minyak, jadi harga minyak yang rendah menguntungkan buat kita. Tapi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas pasti akan berkurang dari yang sebelumnya Rp 350 triliun, mungkin bisa hilang setengahnya. APBN jadi terpengaruh," papar dia.
 
Pemerintah, kata Marwan, perlu mengompensasi potensi penurunan PNBP migas secara drastis dengan menggenjot penerimaan pajak. 
 
"Salah satunya meningkatkan kegiatan ekonomi supaya penerimaan pajak naik. Tapi untuk menghidupkan kegiatan ekonomi, harga BBM harus turun dan dinikmati masyarakat," pungkasnya. (Fik/Ndw)