Liputan6.com, Malang - Pelaku usaha di sektor perbankan optimistis Indonesia mampu menghindari ancaman krisis, seperti krisis perbankan hebat pada 1998. Kondisi perbankan saat ini jauh lebih sehat karena bisa diantisipasi dengan cepat.
Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong mengungkapkan perbankan nasional sanggup memenuhi kecukupan modal dan likuiditas memadai sehingga mencegah kegagalan bank yang pernah terjadi pada 1998.
"Ekonomi kita tidak akan krisis seperti 1998, sebab diminta rasio kecukupan modal 9 persen, tapi cadangan bank nasional lebih banyak. Kita punya modal banyak. Tidak terlalu banyak laba tidak apa, yang penting likuiditas aman," ujar dia saat Diskusi Media Training : Memahami Industri Perbankan, Malang, Jumat (11/9/2015).
Advertisement
Goei menunjukkan data kinerja keuangan empat bank besar, yakni Bank Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Bank Central Asia Raya Tbk (BCA) sepanjang kuartal II 2015.
Dari sisi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) terhadap Non Performing Loan/NPL alias kredit bermasalah, rata-rata empat bank ini ada di posisi di atas 100 persen. Bank Mandiri sebesar 168 persen, Bank BRI 141,7 persen, Bank BCA 292,7 persen dan Bank BNI 138,8 persen.
Dilihat dari rasio kredit bermasalah (gross), sambung Goei, posisi terendah dipegang Bank BCA dengan 0,68 persen dan Bank BNI tertinggi 2,98 persen. Sedangkan Bank BRI dan Bank Mandiri masing-masing 2,33 persen dan 2,00 persen. Â Tambah dia, Net Interast Margin (NIM) Bank Mandiri paling rendah 5,6 persen, lalu disusul Bank BNI 6,5 persen, Bank BCA 6,6 persen dan Bank BRI 7,99 persen.Â
"Itu karena kita (Bank Mandiri) punya banyak Surat Utang Negara (SUN) kecil-kecil, ada Rp 80 triliun obligasi rekap jadi bikin NIM kecil. Tapi tidak apalah ini kan tugas negara sampai periode 2020," tutur Goei.
Sementara total Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), Bank Mandiri dan Bank BRI masing-masing 17,6 persen dan 20,4 persen. Serta Bank BCA dan Bank BNI masing-masing 19 persen dan 17,1 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Finance and Strategy Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, Indonesia belum masuk fase krisis seperti 1998 yang mencatatkan pertumbuhan negatif. Kondisi kesehatan perbankannya, sambung dia, sangat buruk sampai kecukupan modal habis tergerus.
"Ada dua sumber kehancuran saat krisis 1998, yakni kurs rupiah jebol dari pertahanan yang ditetapkan pemerintah 2.500 per dolar AS. Kondisi perbankan jelek karena bank nasional, BPD membiayai proyek-proyek yang di drive konglomerasi pemerintah. Swasta pun cuma mau memodali grup-grup besarnya.Jadi tidak pada tempatnya," terang Kartika.
Ketika itu, Mantan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpana (LPS) ini mengaku, ada 16 bank bangkrut karena penarikan dana besar-besaran dari nasabah. Diperparah, kredit bermasalah tinggi dan perusahaan berutang untuk kegiatan tidak produktif. "Dan kita butuh waktu 5 tahun buat recovery," kata Kartika.
Dari data indikator makro ekonomi antara 1998 dan saat ini periode Januari-Juni 2015, Kartika menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1998 anjlok sampai minus 13,1 persen dan kini di semester I 2015 masih tumbuh positif 4,67 persen. Inflasi ketika itu meroket 77,6 persen, tapi sekarang 7,26 persen. Depresiasi kurs rupiah 72,6 persen dan kini 7,7 persen year to date.
Sementara cadangan devisa tahun 1998 tergerus ke level terendah US$ 23,2 miliar, sedangkan saat ini US$ 107,6 miliar. Pertumbuhan kredit 25,2 persen, namun sekarang 10,4 persen dengan realisasi kredit macet saat itu mencapai 53 persen dan kini 2,58 persen. Â Rasio kecukupan modal bahkan dulu minus 15,7 persen, tapi kini 20,5 persen dan Loan to Deposit Ratio (LDR) 85 persen di 1998 dan 88,7 persen pada paruh pertama 2015. (Fik/Ahm)