Liputan6.com, Jakarta - Ketika melangkahkan kaki di Jalan Gondosuli, Kelurahan Waru, Malang, Jawa Timur‎, terdengar suara bising dari mesin gergaji. Tepat di sebuah rumah sederhana bercat kuning, tampak kesibukan beberapa orang sedang memotong kayu pinus menjadi beberapa ukuran. Orang lainnya sedang serius melukis kayu-kayu tersebut menjadi sebuah produk bernilai tambah.
Ya, bisnis kerajinan kayu milik Retno Hastuti (54) dipopulerkan dengan nama GS4 Woodcraft. GS4 merupakan kepanjangan dari alamat jalan Gondosuli nomor 4, tempat di mana usaha ini berkembang dari masa ke masa.
Baca Juga
Retno begitu telaten mengontrol hasil pekerjaan 7 orang karyawannya. Kepada wartawan yang menemuinya di lokasi proses produksi sekaligus galeri kerajinan kayu di Malang, Jawa Timur, Jumat (11/9/2015), Retno mengisahkan perjalanan bisnis kerajinan kayu pinus yang dimulai sejak 1992.
Advertisement
Tanpa berbekal modal, Wanita jebolan Universitas Brawijaya ini berani menggunakan limbah kayu pinus dari pabrik yang dimiliki temannya. Pabrik ini memproduksi lemari dan lainnya. Kayu pinus memang banyak ditemukan di kota Malang.
Tak hanya itu, Retno pun meminjam mesin pemotong selama satu jam untuk membelah kayu-kayu tersebut dan dikreasikan menjadi produk. Perlahan tapi pasti, wanita berhijab ini akhirnya mampu membeli kompresor untuk menlancarkan bisnisnya.
"Nah pada 2002, saya menjadi mitra binaan PT Bank Mandiri Tbk. Saya mengajukan pinjaman Rp 10 juta untuk ekspansi bisnis. Karena menjadi binaan, saya dapat program pelatihan dan diberangkatkan ke pameran-pameran sebagai dukungan pemasaran," terang dia.
Saat pelatihan itulah, dia mengaku, belajar soal manajemen pemasaran, menyusun laporan keuangan atau pembukuan dan sebagainya. Kini, Retno bilang, GS4 Woodcraft sanggup memproduksi 1.000 buah produk kerajinan kayu pinus dalam satu bulan. Hasil produknya juga bermacam-macam contohnya seperti ‎perabot rumah tangga, souvenir pernikahan, dan mainan anak-anak dalam
Begitu juga dengan harga. Retno mematok Rp 10 ribu hingga jutaan rupiah yang termahal untuk produk satu set perabot rumah tangga.
"Pemasaran lewat dunia maya dan pameran mendongkrak omzet sekira Rp 25 juta sampai Rp 30 juta per bulan. Tapi di musim kawin, penghasilannya bisa lebih dari itu. Keuntungan bersihnya 25 persen-50 persen dari omzet," ujarnya.
Retno mengakui, kewalahan menerima permintaan yang datang dari daerah-daerah seluruh Indonesia‎, antara lain Jakarta, Bandung, Palembang, Aceh, Bontang sampai daerah di Timur Indonesia. Bahkan Ibu dari tiga orang anak ini bercerita pernah mengekspor produk kerajinan kayunya ke Jamaica dan Singapura pada 2003.
"Karena kami belum berpengalaman, kami keteteran saat permintaan membludak sampai 60 ribu pieces produk kerajinan kayu pinus. Akhirnya kami tidak bisa mengontrol kualitas, sebab biasanya kalau ekspor maunya semua barang sama kualitasnya," terang dia.
Ada harapan yang ingin digapai dengan menjalankan bisnisnya ini. Tak muluk-muluk. Retno hanya ingin bisnis yang ditekuni dan sudah membuahkan hasil menyekolahkan anak-anaknya hingga bangku kuliah berjalan mulus.
Seperti bisnis lain pada umumnya, usaha Retno pun tak selalu berjalan mulus. Istri dari Heru Budianto, salah seorang Dosen Arsitektur di Universitas Brawijaya ini pernah mempunyai pengalaman pahit ketika krisis moneter melanda Negeri ini pada 1998 silam. Usaha kerajinan kayu pinusnya nyaris gulung tikar.
"Dulu 1998, kami ‎pernah hampir kolaps karena harga bahan baku seperti cat mengalami fluktuasi tidak menentu. Sementara orderan sudah pada harga yang ditetapkan. Akhirnya perlahan mulai bangkit dan karena sudah belajar dari masa lalu, sekarang saat kondisi ekonomi sedang susah, kami tetap aman. Tidak pengaruh, malah penjualan meningkat," kata Retno mengakhiri perbincangan. (Fik/Zul)
Â