Sukses

Menteri Susi Bantah Ada PHK Besar-besaran di Sektor Perikanan

PHK yang menimpa ABK dan pekerja lain di sektor perikanan tidak sebesar apa yang diberitakan selama ini.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membantah telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada anak buah kapal (ABK) akibat kebijakan yang dikeluarkan kementeriannya.

Dia mengatakan, PHK yang menimpa ABK dan pekerja lain di sektor perikanan tidak sebesar apa yang diberitakan selama ini. Susi menyebut jumlahnya tidak signifikan.

"Ya ada dikit-dikit, tapi tidak signifikan," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Dia menjelaskan, jika PHK tersebut disebabkan oleh larangan penangkapan ikan secara ilegal dan moratorium izin kapal, maka ABK yang kehilangan pekerjaannya adalah ABK asing, bukan ABK lokal.

"Karena kalau kapal asing kan ABK-nya juga asing. Kenapa kita pikirin ABK asing," kata dia.

Sementara itu, untuk ABK lokal yang turut terkena dampak ini, Susi menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan program agar bisa menjadi nelayan-nelayan yang mandiri dengan kapal sendiri.

"Yang bekas ilegal fishing ditertibkan kan memang akan kita kasih program di 2016, menjadi nelayan-nelayan mandiri dengan kapal-kapal kecil," kata dia.

Semantara itu, Anggota Komisi IV dari Fraksi PKB DPR RI Daniel Johan mengatakan bahwa selama Susi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, terjadi pengangguran pada berbagai sektor perikanan. Jumlahnya bahkan mencapai 637 ribu orang.

"Anak buah kapal sekitar 103 ribu orang, buruh unit pengolahan ikan sekitar 75 ribu orang, pembudidaya dan nelayan kepiting rajungan sekitar 400 ribu orang, penangkapan benih lobster 8.000 orang, pembudidaya lobster 1.000 orang dan pembudidaya ikan kerapu sekitar 50 ribu orang," jelasnya.

Selain itu menimpa ABK, kapal bekas asing banyak yang tidak beroperasi akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP. Kapal ukuran 100 GT- 500 GT yang mengganggur sekitar 200 buah, kapal kayu buatan dalam negeri berukuran 100 GT-300 GT mengganggur sebanyak 1.000 buah. Sedangkan kapal cantrang dengan ukuran 30 GT-100 GT yang berhenti beroperasi sekitar 1.000 buah.

"Total nilai aset tersebut senilai Rp 5 triliun dan terancam rusak tidak terpelihara. Kapal-kapal di atas tidak dapat beroperasi karena Surat Layak Operasinya tidak diterbitkan oleh KKP, walaupun ijin masih berlaku dan sudah membayar PNBP dimuka,"‎ tandas Daniel. (Dny/Ndw)