Sukses

Presiden Jokowi: Kereta Cepat Itu Keputusan Politik

Keputusan untuk menerima atau menolak pembangunan kereta cepat tersebut bukanlah perkara yang mudah.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah memutuskan menolak dua proposal yang diajukan oleh Jepang dan China mengenai pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Untuk tute tersebut, Jokowi memilih untuk membangun kereta kecepatan sedang. Atas keputusannya itu, ke dua negara tersebut diminta untuk melakukan studi ulang dengan model kereta sedang.

Jokowi menceritakan, keputusan untuk menerima atau menolak pembangunan kereta cepat tersebut bukanlah perkara yang mudah. Banyak pertimbangan yang harus dilakukannya untuk memutuskan mega proyek pertama kali di Indonesia itu.

"Kereta api cepat itu kenapa diributkan, itu belum ada di Indonesia, itu keputusan politik," kata Jokowi saat meresmikan pengoperasian mesin bor 'Antareja' untuk proyek Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta, Senin (21/9/2015).

Jokowi mengatakan itu sebagai keputusan politilk karena akan menggunakan dana APBN dan APBD yang dialokasikan untuk subsidi tiketnya. Subsidi tersebut perlu dilakukan mengingat untuk saat ini sulit mengerjakan sebuah proyek di Jakarta jika hanya dihitung untung dan rugi‎nya dari sisi perusahaan.

Meski disubsidi, Jokowi yakin kedepan masyarakat akan terbiasa jika secara bertahap pemerintah menghadpus subsidi tersebut sesuaoi dengan peningkatan pendapatan masyarakat di Indonesia.

‎"Dan orang akan ingat, nanti kalau sudah jalan 10 atau 20 tahun yang akan datang, yang dulu bilang tidak mungkin bisa bayar tiket kereta cepat itu Rp 200 ribu, nanti 10 tahun mendatang orangiorang Indonesia sudah kaya semuanya," tegas Jokowi.

‎Untuk itu, pembangunan proyek MRT ini dikakatan Jokowi harus dijadikan pengalaman dimana pembangunan infrastruktur harus di mulai sejak dini. Jika tidak harga pengerjaan proyek akan semakin membengkak.

Sebelumnya, Jokowi menolak proposal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang diajukan oleh China dan Jepang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution usai Rakor Deregulasi menjelaskan secara detail mengenai hasil pembahasan antara Tim Penilai dengan Presiden Jokowi perihal kereta cepat yang disampaikan Kamis siang 3 September 2015.

Dia menegaskan keputusan Jokowi pertama adalah pembangunan kereta cepat tidak boleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) langsung maupun tidak langsung. Baik dalam bentuk dana maupun suntikan modal melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), serta penjaminan dari pemerintah.

Darmin menuturkan, jarak Jakarta-Bandung sekira 150 Kilometer (Km) membutuhkan 5 stasiun sampai 8 stasiun. Walau Shinkansen melesat dengan kecepatan 300 Km per jam, diakuinya, tidak akan pernah bisa mencapai kecepatan maksimum itu karena perlu waktu tempuh 14 menit.

Jadi disimpulkan Darmin, kereta belum sampai kecepatan penuh sudah mulai harus direm, sehingga kecepatan paling mentok 200 Km-250 Km per jam.

"Keputusan Presiden adalah kalau begitu jangan kereta cepat. Cukup kereta kecepatan menengah yang melesat dengan kecepatan 200 Km-250 Km per jam," terang Darmin.

Dengan kereta berkecepatan sedang, sambung dia, jarak tempuh hanya akan melambat 10 menit sampai 11 menit dari kereta cepat. Namun biaya investasinya bisa 30 persen-40 persen lebih murah dibanding membangun kereta Shinkansen.

Darmin mengatakan, hasil penilaian dari konsultan independen, Boston Consulting Group (BCG) disebutkan kedua proposal China dan Jepang sama-sama tidak merinci banyak hal soal kereta cepat, seperti standar pemeliharaan, standar pelayanan dan lainnya.

"Jadi Indonesia perlu merumuskan kereta api seperti apa yang diperlukan, misalnya di mana stasiun yang akan dibangun, di mana bersimpangan dengan kereta lain, ya mungkin berbatasan dengan kereta api ringan supaya jadi lebih optimum kegunaannya," tutur dia (Yas/Gdn)