Sukses

Mendag Akui Bisnis Garam Nasional Tak Sehat

Untuk memberantas kartel garam, Kementerian Perdagangan akan mengubah sistem tata niaga garam.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengakui ada praktik bisnis yang tidak sehat dalam bisnis garam di Tanah Air. Menurut Thomas, praktik bisnis tidak sehat tersebut berupa permainan harga yang dilakukan oleh importir garam atau biasa disebut juga dengan kartel garam.

"Benar, memang kelihatannya ada praktik tidak sehat ditambah sistem kuota yang tidak sehat," kata Thomas, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kamaritiman, Jakarta, Senin (21/9/2015).

Thomas mengungkapkan, untuk memberantas praktik tersebut, instansinya akan membenahi tataniaga garam dari sistem kuota menjadi sistem tarif. Sehingga harga garam menjadi stabil dan tidak lagi dimainkan oleh kartel.

"Jadi dari sisi Kementerian Perdagangan, kami berkomitmen untuk merombak tata niaga supaya industri garam tata niaganya sehat. Bebas dari praktek oligopoli yang menciptakan masalah," tuturnya.

Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan, aksi kartel garam tergolong sadis dan sudah bernegosiasi dengan pejabat terkait. kartel tersebut menyogok pejabat agar akisnya tak diusik.

"Sistem kuota keuntungannya luar bisa besar yang dipakai untuk nyogok pejabat, pejabat nutup mata. Nah kalau diubah dengan sistem tarif tidak akan bisa lagi," pungkasnya.

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus praktik curang atau kartel pada bisnis garam. Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan ada tiga modus operandi dalam dugaan kartel garam.

Pertama dugaan kartel garam impor, kedua kartel garam lokal dan ketiga kombinasi antara kartel impor dan lokal. "Kalau garam impor beli Rp 500 per kg dari luar terus jual di distributor Rp 1.500 harga yang disepakti kan kartel. Di lokal juga gitu," kata dia.

Dia mengatakan, petambak tergantung dengan jumlah pembeli yang sedikit. Para pembeli inilah yang menentukan harga dan disebut kartel.

"Kombinasi kartel garam impor dan lokal, karena ada kewajiban pemerintah kalau impor sekian serap sekian. Mereka impor dulu pada harga Rp 500 dirembeskan konsumen sepakat pada harga tertentu itu sudah kartel, karena rembesan harga konsumen turun. Pada saat itu dia menyerap lokal pada harga rendah," jelasnya.

Dari praktik kartel, pihaknya menyebut keuntungannya mencapai triliunan rupiah. Untuk kartel garam impor saja, jika dihitung selisih impor dan penjualan dikali dengan total impor garam sebanyak 2,25 juta ton setahun menghasilkan pundi-pundi uang sebanyak Rp 2,25 triliun. (Pew/Gdn)