Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo memperkirakan kenaikan tingkat suku bunga (Fed Fund rate) akan tertunda hingga 2018. Penyebabnya, penyesuaian suku bunga Amerika Serikat (AS) baru akan dilakukan jika inflasi Negeri Paman Sam itu mencapai 2 persen.
Pernyataan tersebut disampaikan Agus saat Raker Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dengan Komisi XI DPR. "Statement tertundanya kenaikan suku bunga dalam Federal Open Market Committee (FOMC) diyakini bahwa AS cukup enggan menaikkan tingkat suku bunga," ujar Agus, Selasa (22/9/2015).
Agus mengatakan, bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) akan merealisasikan kenaikan tingkat suku bunga apabila indikator inflasi AS telah mencapai 2 persen. Sementara pencapaian laju inflasi hingga Agustus 2015 baru 0,2 persen."Jadi perkiraannya agak jauh ke belakang atau susah dicapai inflasi 2 persen. Jadi prediksinya kenaikan suku bunga AS akan ditunda sampai 2017-2018. Dampaknya ketidakpastian terus berjalan," tegas dia.
Advertisement
Agus menilai, ada potensi kenaikan Fed Fund Rate tertunda lebih jauh lagi di tahun-tahun berikutnya. Jika benar terjadi, Agus bilang, akan sangat baik bagi Indonesia dari sisi financial account.
"Jadi tahun depan, diperkirakan defisit transaksi berjalan 2,88 persen, capital account surplus 2,91 persen dan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2 hingga 5,6 persen. Titik tengahnya 5,4 persen dengan kurs rata-rata Rp 13.900 setahun ke depan," papar Agus. Â
Dia menyebutkan, BI mengusulkan asumsi di kisaran Rp 13.700-13.900 per dolar AS. Perkiraan nilai tukar rupiah ini sudah mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi tahun depan yang diusulkan pemerintah 5,3 persen dengan kinerja impor akan menurun.
Dia menuturkan, kondisi kuartal I/2016 diperkirakan rupiah masih tertekan di level Rp 14.000 per dolar AS. Tapi akan ada penguatan di kuartal II-IV dengan kisaran Rp 13.700-13.900 per dolar AS.
"Karena melihat rupiah undervalue dan overshoot karena sentimen modal terbatas, sudden reversal di pasar modal, banyak pembelian valas dan eksportir enggan melepas dolar. Neraca pembayaran Indonesia di kuartal II/2016 diprediksi masih negatif dan akan positif di kuartal III dan IV tahun depan," ujar Agus. (Fik/Ahm/Sar)