Liputan6.com, Jakarta - Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia terus merosot menjadi US$ 103 miliar sampai Senin (21/9/2015). Kondisi ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena dunia usaha akan mengalami kesulitan membayar utang karena stok dolar Amerika Serikat (AS) kian terbatas.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, dunia usaha sebagian besar berutang dalam bentuk valuta asing (valas). Tapi parahnya, penerimaan mereka dalam denominasi rupiah.
"Cadev sebesar itu jelas mengkhawatirkan. Lihat saja utang luar negeri swasta lebih besar dari pemerintah buat bangun mal, gedung pencakar langit, lapangan golf. Sedangkan penerimaannya rupiah, ini bahaya sekali," tegas dia di Jakarta, Rabu (23/9/2015).
Kata Anwar, dunia usaha makin ketar ketir karena harga komoditas anjlok sejak beberapa tahun lalu sehingga ikut menurunkan pendapatan perusahaan. Sementara ongkos produksi melonjak, karena pelemahan kurs rupiah dan tingkat bunga naik.
"Bagaimana mereka bisa bayar utang karena kesehatan industri terganggu. Perbankan akan terkena dampaknya, di mana kredit macet meningkat dan rasio kecukupan modal bank melemah," jelas Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) itu.
Lebih jauh diterangkan Anwar, pemerintah hanya menyentuh sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) pada paket kebijakan ekonomi tahap I. Padahal, sambungnya, UKM tidak mempunyai alat modal untuk bisa meningkatkan produktivitas. Â
"Kenapa tidak memacu produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita, mengundang investasi dari Korea, Jepang, China misalnya bikin pabrik tekstil di Boyolali sehingga menyerap tenaga kerja," ujarnya.
Pemerintah, dinilai dia, hanya melakukan strategi jangka pendek dengan berutang. Memanfaatkan pinjaman multilateral dari negara lain, salah satunya BI lewat langkah bilateral swap arrangement dengan China, Jepang, Korea. Hanya saja, Anwar bilang, untuk bisa melakukannya harus memperoleh restu dari International Moneter Fund (IMF).
Guna kembali mengangkat rupiah, Anwar menyarankan, pemerintah dan BI harus meningkatkan kinerja ekspor dan mencegah terjadinya pelarian modal asing (capital outflow), di mulai dengan meningkatkan efisiensi BUMN, memperbaiki iklim usaha supaya investor betah menanamkan modalnya di Indonesia.
"Agresif juga untuk mengundang masuknya modal asing ke sini, misalnya dari Korea, Jepang, China, bukannya Arab. Rakyat kita butuh pekerjaan, bukan cuma minyak. Jangan gaduh mulu, dan permudah perizinan di daerah, selain tingkat pusat. Jadi orang mau datang ke sini," tegas dia. (Fik/Ndw)
Cadangan Devisa RI Tergerus, Ini Cara Agar Rupiah Perkasa
Posisi cadangan devisa Indonesia terus merosot menjadi US$ 103 miliar.
Advertisement