Sukses

Rupiah Terus Melemah, Indonesia Masuk Krisis?

Anjloknya nilai tukar rupiah dan harga komoditas mengakibatkan dunia usaha nasional terpuruk.

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi perekonomian Indonesia semakin sulit, ditandai dengan pelemahan nilai tukar rupiah yang nyaris menyentuh 14.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Dengan situasi seperti itu, Indonesia diperkirakan cepat atau lambat akan dilanda badai krisis keuangan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Anwar Nasution mengungkapkan, terjadi pelarian modal asing (capital outflow) besar-besaran saat ini. Sementara kinerja ekspor sebagai sumber devisa negara terus merosot.

"Lihat saja, harga saham turun, obligasi kita tidak ada yang mau beli. Perusahaan-perusahaan sudah obral (saham) besar-besaran paska Lebaran. Tapi dari pemerintah belum ada upaya meningkatkan perekonomian dalam jangka pendek," tegas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Rabu (23/9/2015).

Situasi sulit juga mendera dunia usaha nasional. Kata Anwar, anjloknya nilai tukar rupiah dan harga komoditas mengakibatkan dunia usaha nasional terpuruk. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia itu mencontohkan, Pt Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ribuan karyawannya.

"Belum lagi perusahaan lain di bidang pertambangan, perkebunan. Mungkin Unilever pun akan seperti itu. Hal ini menggambarkan banyak perusahaan bangkrut," paparnya.

Jika perusahaan atau dunia usaha kolaps, lanjut dia, akan mengganggu rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) dan kredit macet alias Non Performin Loan/NPL perbankan. Perusahaan tak sanggup lagi membayar cicilan kredit bank, sehingga menyebabkan kenaikan kredit macet.

"Bagaimana mereka bisa bayar utang. Jadi tekanan ini tidak bisa diprediksi sampai rupiah berapa. Saya melihat cepat atau lambat, ekonomi kita akan kembali krisis," ujar Anwar.

Bisa bertahan

Namun pendapat Anwar tersebut berseberangan dengan pendapat Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong. Ia  mengungkapkan perbankan nasional sanggup memenuhi kecukupan modal dan likuiditas memadai sehingga mencegah kegagalan bank yang pernah terjadi pada 1998.

"Ekonomi kita tidak akan krisis seperti 1998, sebab diminta rasio kecukupan modal 9 persen, tapi cadangan bank nasional lebih banyak. Kita punya modal banyak. Tidak terlalu banyak laba tidak apa, yang penting likuiditas aman," ujar dia. 

Goei menunjukkan data kinerja keuangan empat bank besar, yakni Bank Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Bank Central Asia Raya Tbk (BCA) sepanjang kuartal II 2015.

Dari sisi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) terhadap Non Performing Loan/NPL alias kredit bermasalah, rata-rata empat bank ini ada di posisi di atas 100 persen. Bank Mandiri sebesar 168 persen, Bank BRI 141,7 persen, Bank BCA 292,7 persen dan Bank BNI 138,8 persen.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Doddy Zulverdi. Menurut dia, orang sering mengaitkan kondisi saat ini hampir sama dengan masa krisis 1998 hanya karena posisi rupiah terhadap dolar sama-sama anjlok ke level terendah.

"Saya sering gunakan istilah ilusi level nilai tukar. Artinya, rupiah sekarang pada posisi 14.000 per dolar AS, kemudian orang melihat karena Rp 14.000 dan acuannya tidak ada. Akhirnya melihat titik terendah ketika krisis 1998, angka sekitar Rp 17 ribu, sehingga orang mengkaitkan Rp 14.000 dekat dengan level Rp 17.000 yang krisis sebagai cerminan kita sudah krisis," ujarnya. 

Padahal, lanjut dia, fundamental ekonomi maupun mikro sistem keuangan Indonesia saat krisis 1998 dan saat ini sangat jauh berbeda. Perbedaan pertama bisa dilihat dari sisi inflasi di mana saat ini laju inflasi saat ini masih berada pada kisaran 7 persen dibandingkan tahun lalu (YoY). Sedangkan saat krisis 1998, inflasi Indonesia hampir menyentuh 80 persen.

"Sekarang laju inflasi kita year on year masih 7 persen, bahkan sekitar akhir tahun bisa sekitar 4 persen. Waktu krisis 1997-1998 level tertinggi hampir 80 persen," kata dia. (Fik/Gdn)

Video Terkini