Liputan6.com, Jakarta - Kemampuan Indonesia untuk menarik pinjaman masih cukup besar ketimbang negara berkembang lainnya. Hal itu mengingat total utang Indonesia dilihat dari sektor rumah tangga, perusahaan non keuangan, dan pemerintah masih sekitar 88 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Data itu berdasarkan laporan McKinsey Global Institute berjudul: "Debt and (not much) develeraging" research paper pada Februari 2015. Dari laporan McKinsey tersebut menunjukkan kalau Indonesia memiliki utang rendah terhadap PDB di antara negara berkembang lainnya.
Baca Juga
Mengutip data Mickinsey, dari 16 negara berkembang, Indonesia mencatatkan posisi nomor tiga terendah yang memiliki utang di atas Mexico dan Rusia. Total utang Indonesia tersebut antara lain utang rumah tangga sekitar 20 persen dari PDB, utang perusahaan non keuangan sekitar 46 persen dari PDB, dan utang pemerintah sekitar 22 persen dari PDB. Indonesia mencatatkan PDB sekitar Rp 10.542,7 triliun pada 2014.
Advertisement
Negara berkembang mencatatkan utang tertinggi antara lain Hungaria tercatat memiliki utang 226 persen dari PDB, disusul Malaysia sekitar 222 persen dari PBD, dan China sekitar 218 persen dari PDB. Laporan McKinsey menunjukkan kalau China mencatatkan pertumbuhan utang signifikan dalam tujuh tahun terakhir.
 Â
Ekonom BCA, David Sumual mengatakan Indonesia memang masih memiliki kapasitas utang cukup besar. Utang pemerintah saja masih di bawah 25 persen dari PDB.
"Kalau melihat dari kapasitas ekonomi memang masih cukup besar. Rasio utang untuk membayar juga masih cukup bagus," ujar David saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (25/9/2015).
David menuturkan, pemerintah Indonesia memang cenderung hati-hati sejak 1998. Sehingga kapasitas utang masih cukup aman dan besar. Meski demikian, nilai tukar rupiah cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga perlu jadi perhatian terutama dampaknya terhadap total utang luar negeri swasta.
"Utang luar negeri perusahaan harus dicermati. Apalagi kalau utang dalam mata uang asing tetapi pendapatannya rupiah itu berbahaya," ujar David.
David mengatakan, utang luar negeri swasta tersebut yang perlu diwaspadai. Ditambah ekspor Indonesia cenderung menurun juga mempengaruhi penerimaan negara.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) utang luar negeri Indonesia melambat pada Juli 2015 dengan pertumbuhan 3,7 persen ketimbang Juni 2015 sebesar 6,3 persen.
Dengan pertumbuhan itu, posisi utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$ 303,7 miliar pada akhir Juli 2015.Utang itu terdiri utang luar negeri sektor publik sebesar US$ 134,5 miliar atau 44,3 persen dari total utang luar negeri. Kemudian utang luar negeri swasta sebesar US$ 169,2 miliar atau 55,7 persen dari total utang luar negeri.
David menuturkan, pemerintah Indonesia dapat kembali menarik pinjaman, misalkan dari China. Penarikan pinjaman itu dapat dilakukan asal digunakan sektor produktif seperti mendorong pembangunan infrastruktur. Hal ini dampaknya terasa bagi masyarakat sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Pinjaman itu jangan digunakan untuk konsumtif misalkan subsidi BBM. Kapasitas ekonominya tak bertambah. Kalau sifatnya produktif seperti meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur dapat menggenjot ekonomi," ujar David.
China Catatkan Pertumbuhan Utang Cukup Besar
Kalau melihat data dari McKinsey, China menjadi salah satu negara mencatatkan utang cukup besar dari PDBnya. Tingkat utang negara tersebut meningkat dengan kecepatan lebih cepat. Pinjaman untuk perusahaan dan rumah tangga sebesar 207 persen dari PBD pada akhir Juni, naik 125 persen pada 2008.
Stimulus China termasuk langkah yang dilakukan seperti memangkas suku bunga dan rasio cadangan bank untuk menopang pertumbuhan telah mengancam untuk menunda upaya negara tersebut mengurangi utang. Hal itu berpotensi risiko terhadap stabilitas keuangan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Bahkan kredit bermasalah sudah naik mencapai US$ 23 miliar atau sekitar 140 miliar Yuan pada kuartal I.
"Ini masalah yang mengkhawatirkan. Pemerintah berusaha sangat keras untuk memperlambat utang tetapi mereka tak melakukannya. Utang terhadap rasio PDB akan terus naik," ujar Bo Zhuang Ekonom Trusted Sources.
Sementara itu, Forbes melaporkan kalau beban utang China dimulai dari gelembung kredit yang digalakkan pada 2009. Saat itu, China berusaha menyumbat lubang yang ditinggalkan oleh krisis keuangan Amerika Serikat dan Eropa.
Akan tetapi, China tergantung ekspor. Ketika AS dan Eropa melambat karena kreditnya, China melakukan apa semua negara lakukan dengan meransang, menstimulasi dan meransang lagi.
McKinsey mengatakan utang domestik China merupakan masalah terbesar. Utang pemerintah pusat masih rendah, sekitar 64 persen dari PBD. Ini memberikan ruang bagi pemerintah untuk merangsang lagi. Utang bank China masih dalam kondisi baik tetapi kredit macet cenderung naik. Selain itu, utang rumah tangga di China masih sangat rendah. Seperti kebanyakan masyarakat Asia, masyarakat China menyukai menabung dan investasi. (Ahm/Igw)