Liputan6.com, Jakarta - Daya beli masyarakat cenderung melambat di semester I 2015. Hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,7 persen pada semester I 2015. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I 2014 di kisaran 5,17 persen.
Ekonomi melambat ini tak lepas dari gejolak internal dan eksternal. Gejolak tersebut mulai dari penguatan dolar Amerika Serikat terhadap sejumlah mata uang termasuk rupiah. Sementara itu, lambannya penyerapan anggaran pemerintah juga membuat ekonomi melambat.
Kondisi ini memang dapat membuat pelaku usaha khawatir untuk menjalankan usahanya. Meski demikian, Pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali menilai ekonomi tidak hanya dipandang sebagai daya beli tetapi juga keinginan untuk membeli. Masyarakat Indonesia dinilai masih memiliki keinginan daya beli cukup baik ketimbang negara lain seperti Korea Selatan dan Malaysia. Ini masih jadi peluang bagi pelaku usaha untuk tetap berjalan.
Advertisement
"Kalau orang punya daya beli kuat tetapi keinginan daya beli tak ada ini parah walaupun rupiah menguat. Saya ambil contoh Korea Selatan, kursnya tak terpengaruh seperti kita relatif baik karena ekspor baik tetapi keinginan membelinya sudah di bawah 100. Malaysia sudah 89. 100 itu sebagai baseline. Di atas 100 itu optimistis, di bawah 100 pesimistis. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia skornya 120. Ini tertinggi ketiga di dunia yang keinginan daya belinya kuat," ujar Rhenald.
Selain itu, Rhenald mencontohkan saat ada pameran otomotif pada Agustus 2015 tercatat nilai transaksi Rp 5 triliun. Ini menunjukkan kalau daya beli masih cukup kuat. Ditambah kondisi masyarakat yang dibayangi berita negatif tak membuat konsumsi masyarakat berhenti tetapi menggantinya dengan produk berbeda.
Karena itu, Rhenald menilai produsen harus menyediakan produk penyanggahnya. Misalkan produsen mie memiliki produk A yang segmen harganya lebih mahal maka konsumen dapat beralih ke produk harganya lebih murah.
"Jadi keseluruhan saya tanya turun tidak? Tidak. Karena begitu konsumen minatnya turun, daya beli terganggu akan bergeser ke produk di bawah berikutnya. UKM dapat mengambil kesempatan dari kelas atas," tutur Rhenald.
Rhenald juga mengingatkan para bos perusahaan agar tidak patah semangat di tengah kondisi ekonomi lesu. Akan tetapi, para manajemen perusahaan tetap memotivasi karyawannya untuk terus maju.
"Dalam situasi ini kesempatan bagi teman-teman yang malas untuk akhirnya istirahat karena ada pembenaran penjualannya tak berhasil. Padahal selama ini dia enggan turun ke bawah. Tetapi ini mempengaruhi orang yang punya semangat jadi tak punya semangat. Kalau tak punya semangat jadi punya pembenaran. Pembenarannya krisis. Jadi terus menggerakkan anak buah, beri insentif lebih bagus," jelas Rhenald.
Selain memberikan semangat kepada karyawan, Rhenald juga menegaskan manajemen perusahaan juga harus rela berkorban. Dalam hal ini memangkas biaya kenikmatan. Misalkan di perusahaan minyak. Kini harga minyak dunia di kisaran US$ 40 per barel dari posisi US$ 150 per dolar membuat biaya produksi lebih besar ketimbang harga jualnya. Selain itu, perusahaan transportasi yang biasa memberikan biaya berlibur karyawan empat kali dalam setahun.
"Biaya kenikmatan dikurangi karena selamanya turun ke bawah ini harus dilakukan para eksekutif selain merek penyanggah agar konsumen tak berpindah," tutur Rhenald.
Di tengah kondisi ekonomi melambat, Rhenald menilai ini juga dapat menjadi peluang untuk menemukan hal baru terutama bagi seseorang memiliki jiwa wiraswasta. Tak hanya itu, Rhenald juga menekankan kondisi sekarang juga dapat digunakan untuk menggerakkan ekonomi Indonesia. Apalagi dolar Amerika Serikat (AS) terus perkasa tidak akan dibiarkan terus berlanjut.
Ingin tahu apa saja yang harus dilakukan oleh para manajemen perusahaan di tengah kondisi ekonomi melambat, simak video berikut: (Vna/Ahm)
Â