Liputan6.com, Jakarta - Mata uang Asia menuju pelemahan periode kuartalan terbesar sejak krisis keuangan Asia pada 1997-1998. Hal itu dipicu oleh Tiongkok yang secara mengejutkan melemahkan mata uangnya atau devaluasi Yuan dan prospek kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS).
Indeks Bloomberg-JP Morgan Asia yang terdiri dari 10 mata uang paling aktif di Asia di luar Jepang turun 4,2 persen. Angka ini terburuk sejak krisis 1997-1998. Mata uang Malaysia, ringgit, memimpin pelemahan dengan susut 15 persen.
Pelemahan ringgit didorong penurunan harga minyak dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang diduga korupsi. Sentimen lainnya ditambah mata uang Tiongkok yang jatuh paling dalam 1,5 tahun, seiring ekonomi melambat di sana. Tak hanya itu, pemimpin bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve tetap akan meningkatkan suku bunga pada tahun ini.
Advertisement
"Sulit untuk melihat bagaimana mata uang Asia tetap menguat pada kuartal IV. Kami memperkirakan volatilitas tetap tinggi seiring pemerintah di negara Asia menghadapi perlambatan ekonomi regional dan perdebatan atas prospek kebijakan The Fed," ujar Sean Callow, analis Westpac Banking Corp seperti dikutip dari laman Bloomberg, Rabu (30/9/2015).
Perlambatan ekonomi Tiongkok telah memukul ekspor wilayah regional, dan memperkuat untuk melakukan pelonggaran moneter. Selain itu juga ada risiko perang mata uang. Bank sentral Tiongkok pun menurunkan biaya pinjaman pada Agustus untuk kelima kalinya dalam satu tahun. Hal itu diikuti India yang memangkas suku bunganya.
Sentimen itu juga mempengaruhi mata uang Taiwan. Dolar Taiwan pun merosot ke posisi terendah dalam enam tahun setelah bank sentral menurunkan suku bunga untuk pertama kali sejak 2009.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah 9,1 persen terhadap dolar AS pada kuartal III/2015, dan baht Thailand susut 7,1 persen, dan menjadi pertumbuhan kinerja terburuk sejak 1999. Kemudian won Korea Selatan melemah 6,4 persen, yuan menurun 2,4 persen, terbesar sejak kuartal I/2014.
Sementara itu, dolar Singapura melemah 5,6 persen pada kuartal III/2015, peso Filipina melemah 3,8 persen, dan rupee India turun 3,5 persen. Dong Vietnam melemah 2,9 persen, dan terendah sejak 2011.
Hal itu terjadi setelah otoritas bank sentral melemahkan mata uangnya untuk ketiga kali pada 2015. Selain itu, aliran dana juga diperkirakan keluar dari Tiongkok mencapai US$ 141,66 miliar pada Agustus setelah terjadi devaluasi yuan sehingga mengguncang pasar keuangan global. Angka ini memang lebih tinggi pada posisi Juli di kisaran US$ 124,62 miliar.
Tak hanya Tiongkok, aliran dana asing pun keluar dari bursa saham di Asia mencapai US$ 17,8 miliar. Aliran dana keluar itu mulai dari India, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand.
Kepala Riset Barclays Plc Mitul Kotecha mengatakan, fundamental Asia masih dikatakan lebih baik ketimbang 1998. "Banyak mata uang menurun. Kami tidak akan melihat tekanan sama ketika dalam krisis 1998. Jelas kekhawatiran tentang pertumbuhan Tiongkok, mata uang dan kebijakan lainnya akan membebani mata uang Asia beberapa waktu. Tiongkok bukan faktor besar pada 1997," ujar Kotecha.
Sebelumnya, juga Asian Development Bank (ADB) menurunkan proyeksi pertumbuhan negara berkembang pada 2015 menjadi 5,8 persen dari target awal 6,3 persen. (Ahm/Igw)*