Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi sayangnya, potensi itu kurang dioptimalkan sehingga di ASEAN saja Indonesia hanya menjadi eksportir ikan terbesar kelima.
Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa, hal tersebut terjadi karena maraknya aksi penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan kapal-kapal asing pencuri ikan.
Tak hanya mencuri ikan, Achmad juga menemukan kapal asing tersebut melakukan sejumlah kejahatan lain yang tak cuma merugikan negara, tapi juga melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Namun ternyata mereka tak hanya melakukan illegal fishing, tapi juga kejahatan lainnya, seperti kejahatan pajak, ada juga pelanggaran kepabeanan," kata dia dalam kunjungannya ke kantor Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Bahkan yang mengagetkan, lanjut dia, anak buah kapal (ABK) yang beroperasi di wilayah Indonesia merupakan hasil dari praktik perdagangan orang dan bagian dari kerja paksa. Hal ini ditemukan di beberapa wilayah perairan Indonesia.
"Yang paling penting adalah kita ini hampir saja di disorot dunia, sebagai satu negara yang tidak menghargai dan menghormati HAM karena seolah-olah membiarkan praktik human trafficking," tuturnya.
Advertisement
Achmad mengakui aksi pencurian ikan di Indonesia sudah tergolong parah. Bahkan, tindakan ilegal ini telah merugikan negara hingga US$ 20 miliar atau setara Rp 283 triliun (kurs Rp 14.172 per dolar AS) per tahun.
"Secara keseluruhan, jika mengutip data Bank Dunia yang disebutkan Bu Sri Mulyani, Indonesia rugi US$ 20 miliar per tahun akibat aksi illegal fishing. Tidak hanya sumber daya ikan yang hilang, tapi juga kehancuran ekosistem laut," tandasnya.
Tak hanya mencuri ikan, setidaknya terdapat 11 kejahatan yang dilakukan kapal asing pencuri ikan. Apa saja? simak wawancara tim Liputan6.com dengan Ketua Satgas Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa berikut ini.