Sukses

Kualitas Pembangkit RI Rendah Karena Direksi PLN Takut KPK

Proyek pembangkit listrik di Indonesia yang didominasi asing, termasuk China sering memakai mesin maupun peralatan dengan kualitas rendah.

Liputan6.com, Jakarta - Pembangunan pembangkit listrik di Indonesia yang didominasi asing, termasuk China sering menggunakan mesin maupun peralatan seadanya dengan kualitas rendah atau KW II dan KW III. Alasannya karena pemerintah hanya mampu menganggarkan dana terbatas dan buruknya sistem tender di PT PLN (Persero).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi mengungkapkan, proyek [pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW)](2332388 "") tahap I di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibangun oleh pihak China. Mirisnya mereka mendatangkan mesin pembangkit KW II dan KW III untuk Indonesia.

"Pembangkit listrik bagus yang dibangun pihak China itu ada di Sumatera Selatan, sangat bersih. Lalu saya tanya dengan pihak China, kenapa Anda tidak membangun pembangkit listrik yang sama untuk 10 ribu MW tahap I. Dia bilang, karena dananya sedikit. Jadi kualitasnya diberikan yang rendah," kata dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (4/10/2015).

Lebih jauh dijelaskannya, ujung pangkal permasalahan tersebut karena sistem tender di PLN. Menurut Rinaldy, sistem tender di perusahaan pelat merah itu lebih fokus pada harga terendah, bukan kualitas mengingat ada kekhawatiran akan dikriminalisasi atau diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  

"Itu karena dari direktur PLN yang pernah saya tanya, dia tidak mau masuk KPK. Makanya dimenangkan tender dengan harga terendah. Sebab jika tender harga tertinggi, maka bisa dipertanyakan KPK," papar Rinaldy.

Sementara Wakil Ketua Pelaksana Program Pembangkit Listrik 35 ribu MW, Agung Wicaksono mengakui bahwa sering ada kegamangan di internal PLN dalam proses pengambilan keputusan, termasuk untuk proyek pembangunan pembangkit listrik.

"Pak Nur Pamudji (Mantan Dirut PLN) yang pernah jadi ikon integritas anti korupsi dari Bung Hatta Award saja bisa kena (hukum). Jadi di internal PLN masih ragu-ragu mengambil keputusan sehingga perlu ada sinyal jelas supaya realitas kasus-kasus masa lalu yang tidak tepat perlu ditinjau ulang," ujar dia.

Agung menambahkan, Indonesia memang masih harus bergantung pada asing untuk membangun pembangkit listrik, termasuk 35 ribu MW selain transmisi dan gardu yang sudah sanggup diproduksi dari industri dalam negeri.

"Tapi untuk pembangkit kapasitas besar dan teknologi ramah lingkungan, seperti PLTU Batang bisa menggandeng asing, tapi tidak sepenuhnya asing. Perusahaan lokal atau BUMN bisa menjadi lead kontraktor. Contohnya PLTU Batang, Jepang ikut terlibat, tapi pemimpin konsorsiumnya PT Adaro Tbk," tutur dia.

Hanya saja, lanjut Rinaldy, masyarakat jangan selalu memandang asing sebagai sebuah kerjasama yang negatif. Ini adalah bentuk kepercayaan pihak asing kepada Indonesia untuk bisa berinvestasi di Indonesia.

"Kalau kepercayaan ada, pihak asing bisa membantu kita. Kita bisa manfaatkan kerjasama dengan pihak asing untuk membuat proyek besar dari dana yang ditaruhnya," cetusnya. (Fik/Ndw)