Sukses

Ini Dampak Positif dan Negatif Harga BBM Turun

Penurunan harga BBM berimbas pada menyusutnya ongkos produksi.

Liputan6.com, Jakarta - Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM)  menuai pro dan kontra. Ekonom Senior, Anwar Nasution menentang kebijakan tersebut karena dinilai bukan merupakan solusi tepat di tengah guncangan perekonomian nasional saat ini. Sebenarnya apa dampak positif dan negatif jika harga BBM turun bagi ekonomi?

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan, penurunan harga BBM berimbas pada menyusutnya ongkos produksi meski tidak terlalu signifikan.

"Dampak positif lain, menurunnya harga BBM bisa mengikis inflasi lebih rendah. Itu karena peran BBM dalam inflasi cukup besar, selain harga beras," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (5/10/2015).

Sementara itu, imbas negatif dari penurunan harga BBM, menurut Anwar, kebijakan tersebut seakan sia-sia apabila distribusi barang tersendat akibat kemacetan di jalan raya sehingga konsumsi BBM justru meningkat.

"Percuma di Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya dan seluruh Indonesia macet. Jutaan liter bensin cuma habis dibakar saat macet di jalan raya. Harga BBM turun pun tidak lantas menghilangkan pungutan liar, birokrasi dan sebagainya," terang Eks Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.

Anwar mengaku tidak setuju dengan pendapat bahwa harga BBM turun akan menyelamatkan 165 ribu orang miskin. Kebijakan ini belum tentu akan ikut menurunkan harga beras atau kebutuhan pokok lainnya. Berdasarkan pengalaman, jika harga BBM merosot, harga barang dan tarif transportasi tidak berubah.

"Harga beras memang bakal turun kalau harga BBM turun. Lihat saja musim kemarau panjang, kebakaran hutan di mana-mana, panen gagal total. Daya beli juga tidak akan meningkat, karena orang miskin makan tahu tempe, bahan bakunya dari impor, karena kurs rupiah jelek harga barang jadi naik. Jadi kebijakan ini tidak akan banyak menolong," ujarnya.

Menurut dia, saat ini pelaku usaha sangat membutuhkan kestabilan nilai tukar rupiah dan penurunan suku bunga kredit, bukan penurunan harga BBM. Industri dalam negeri, sambungnya, masih bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan kurs rupiah sangat membebani dunia usaha.  

"Jadi ini tidak menjawab persoalan. Seharusnya rupiah distabilkan dulu, caranya dengan meningkatkan ekspor dan mengundang modal asing masuk. Tapi kita cuma ekspor bahan mentah dan TKI, alternatif lain tidak ada," papar Anwar.

Dia mencontohkan, Australia mempunyai permasalahan yang sama dengan Indonesia, namun Negeri Kanguru ini menggenjot pasar ekspor daging, buah-buahan, dan hasil pertanian lain. Belum lagi, aliran devisa masuk lewat pariwisata, seperti medical tourism dan pendidikan.  

"Kita mau menggalakkan pariwisata saja, semua jalan dan akses ke tujuan wisata macet. Turis disuruh ke mana lagi. Jadi kita harus memikirkan hal ini dalam jangka pendek," pungkas Anwar. (Fik/Ndw)*