Sukses

Harga Solar Turun, Tarif Angkutan di Sumut Belum Berubah

Turunnya harga solar sebesar Rp 200 per liter tidak berpengaruh terhadap nelayan di Sumatera Utara.

Liputan6.com, Medan - Dalam paket kebijakan ekonomi jilid III, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk jenis solar sebesar Rp 200 per liter. Kebijakan ini diberlakukan mulai Sabtu, 10 Oktober 2015 kemarin.

Ternyata, penurunan harga solar tersebut belum mendapat respons dari pengusaha angkutan di Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut). Pengusaha angkutan di Medan menganggap penurunan solar tak berpengaruh terhadap tarif angkutan bus.

Pemilik CV Sartika Group di Jalan Sisingamangaraja Medan, Fernandus Purba mengatakan, tarif angkutan bus akan sulit turun mengingat harga solar hanya turun Rp 200 per liter. Meskipun hal ini biasanya akan dibahas dengan pihak Organda.

"Sangat kecil penurunannya sehingga tidak berdampak apa pun bagi pengusaha bus. Solar turun Rp 1.000 per liter saja, kita sulit menurunkan tarif angkutan bus, apalagi kali ini hanya turun Rp 200 per liter. Tidak ada pengaruhnya bagi kita," kata Fernandus, Senin (12/10/2015).

Menurutnya, selisih penurunan harga solar Rp 200 per liter tidak akan menekan kenaikan harga komponen kendaraan. Karena itu, pihaknya tidak akan bisa menyesuaikan dengan melakukan penurunan tarif bus.

"Harga sparepart saja masih mahal. Misalnya kita beli hari ini, seminggu kemudian harganya sudah naik lagi. Jadi tidak mungkin kita menurunkan tarif angkutan," ungkapnya.

Sementara itu, turunnya harga bahan bakar minyak solar sebesar Rp 200 per liter juga tidak berpengaruh terhadap nelayan di Sumut. Meskipun begitu, nelayan mengaku tetap bersyukur.

Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumatera Utara (Sumut) Pendi Pohan mengatakan penurunan harga solar tidak dirasakan dampaknya kepada nelayan. Selama ini pembelian solar sangat dibatasi di SPBU Belawan. Nelayan menggunakan bio solar atau yang sering disebut minyak domplengan dengan harga Rp 6.000 per liter.

"Ini (biosolar) yang banyak di sini, dan nelayan tidak mau menggunakannya meskipun harganya lebih murah dibandingkan minyak solar," ucap Pendi.

Dikatakannya, bio solar mengakibatkan mesin perahu cepat panas, yang mengakibatkan pemborosan. Karena yang seharusnya mesin awet hingga 5 tahun, malah dalam waktu 2 tahun saja sudah rusak. Sehingga, nelayan malah menunggu minyak solar yang dijual di SPBU menggunakan dirigen atau penjual minyak solar eceran (calo) yang harganya lebih mahal, yakni Rp 8.000 per liter.

"Jadi tidak terasa sama nelayan meskipun harga minyak solar turun Rp 200 per liter," terangnya. (Reza Perdana/Gdn)*

Video Terkini