Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengklaim penguatan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama sepekan lebih ini karena tertolong paket kebijakan ekonomi dan upaya pemerintah memacu penyerapan anggaran.
Ketua Tim Ahli Wakil Presiden (Wapres), Sofjan Wanandi mengakui, apresiasi yang terjadi pada mata uang rupiah bukan disebabkan karena perbaikan fundamental Indonesia, melainkan rencana kenaikan tingkat bunga The Federal Reserve atau bank sentral AS mundur sehingga spekulasinya semakin memudar. Â
Baca Juga
"Rupiah menguat bukan karena fundamental, tapi karena kenaikan suku bunga Bank Sentral AS tidak jadi dilakukan tahun ini. Jadi uang-uang yang mau balik ke AS, akhirnya kembali lagi ke kita," ucap dia di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti ditulis Selasa (13/10/2015).
Advertisement
Penguatan nilai tukar rupiah, diakui Sofjan, disebabkan karena bangkitnya kepercayaan pelaku pasar atas upaya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam merealisasikan paket kebijakan ekonomi, selain menggenjot penyerapan belanja pemerintah.
"Kita melakukan deregulasi sehingga ada kepercayaan baru. Pemerintah juga sudah menggelontorkan bujetnya sehingga penjualan semen, besi, baja sudah menggeliat. BI pun menjalankan tugasnya, jadi bukan karena ekspor membaik, tapi karena deregulasi agar kita bisa bersaing dengan barang impor," jelas Sofjan.
Dihubungi terpisah, Pengamat Valas Farial Anwar menilai, paket kebijakan I, II dan III belum berlangsung efektif. "Rupiah menguat bukan karena prestasi Jokowi, jangan membalikkan fakta. Paket kebijakan III keluar Rabu 7 Oktober 2015, sementara rupiah sudah menguat sebelum paket itu diluncurkan, jadi tidak ada kaitannya," papar dia.
Farial berharap, pemerintah dapat sungguh-sungguh merealisasikan secara konkret paket kebijakan sampai jilid III supaya terlihat hasilnya. Begitupula dengan upaya dari pemerintah daerah yang diakuinya sangat ditunggu-tunggu para investor.
Menurut Farial, penguatan rupiah dan mata uang negara berkembang lain ditopang karena spekulasi penyesuaian Fed Fund Rate berangsur-angsur surut. Dia memperkirakan The Federal Reserve (The Fed) akan menunda realisasi kebijakan ini mengingat realisasi data pengangguran AS yang tidak sesuai ekspektasi.
"Penguatan rupiah didominasi faktor eksternal, terutama spekulasi The Fed mereda. Data pengangguran AS 220 ribu orang, tapi yang terserap hanya 142 ribu orang, sehingga menunjukkan bahwa ekonomi AS belum sepenuhnya membaik. Di tengah devaluasi Yuan, perkiraan kenaikan suku bunga AS kemungkinan tidak akan dinaikkan dalam waktu dekat," paparnya.
Kendati demikian, dia bilang, Indonesia masih akan menghadapi kondisi ketidakpastian sampai dengan akhir tahun ini, terutama maju mundurnya kenaikan Fed Fund Rate.
"The Fed seperti main tebak-tebakkan. Kita bisa jungkir balik karena kebijakan AS tersebut, ini konyol, masa setiap menjelang pertemuan FOMC, kita terombang ambing terus. Jadi pemerintah dan BI harus menjaga momentum penguatan ini," harap Farial. (Fik/Ahm)