Sukses

Anggota DPR Ini Tolak Formula Upah Baru

Politikus dari Fraksi PDI Perjuangan ini menganggap formula tersebut sebagai kebijakan upah murah

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka menolak formula upah buruh paling baru yang baru diluncurkan pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi jilid IV. Politikus dari Fraksi PDI Perjuangan ini menganggap formula tersebut sebagai kebijakan upah murah.

Rieke menyoroti beberapa substansi dari pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Pengupahan. Pertama, pasal 42-44 terkait Upah Minimum. Pasal 42, dijelaskannya, mengatur upah minimum diberlakukan untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun.

Dengan aturan itu, maka pekerja yang berkeluarga dengan masa kerja di bawah satu tahun bisa dikenakan upah minimum. Padahal dalam aturan sebelumnya menyebutkan upah minimum hanya untuk pekerja dengan masa kerja nol tahun atau lajang sedangkan untuk pekerja yang sudah berkeluarga tidak diatur.

Pasal 43 mengatur formula upah minimum tetapi tidak diatur secara jelas standarnya dan akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri. Tanpa diatur secara baku formulanya akan rawan ditafsirkan sehingga ujungnya adalah besaran upah minimum yang rendah sebagaimana praktik selama ini.

Dalam penjelasan yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pada saat pertemuan dengan pimpinan serikat pekerja atau serikat buruh 13 Oktober 2015 lalu formula rumusan upah minimum yang diajukan pemerintah adalah (PDB + Inflasi Nasional (rata2) x (alfa : 0.1)) X UMK/P 2015.

"Jika dihitung perkiraan kenaikan upah minimum di kisaran 10 persenan setiap tahunnya. Formula tersebut mengabaikan survei KHL yang selama ini sudah berjalan serta belum ada formula rumusan baku untuk pekerja yang berkeluarga maupun upah minimum sektoral," papar Rieke dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (16/10/2015).

Pada Pasal 44, lanjut dia, mengatur peninjauan dalam jangka waktu 5 tahun sekali terhadap komponen KHL adalah terlalu lama mengakibatkan komponen KHL menjadi tidak realistis dan menjadikan besaran upah menjadi kecil.

Pasal 14 terkait struktur dan skala upah sehingga pekerja sulit mengetahui struktur dan skala upah yang berlaku di perusahaan karena tidak ada kewajiban terhadap perusahaan untuk menyampaikan laporan keuangan kepada pekerja maupun kewajiban memberitahukan data lengkap upah.

Pasal 21 membolehkan pembayaran upah dengan mata uang asing. Pembayaran upah yang menggunakan mata uang selain rupiah menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan karena pekerja yang dibayar dengan mata uang rupiah nilainya akan lebih kecil daripada tenaga kerja asing yang dibayar dengan mata uang asing.

"Secara umum muatan PP Pengupahan untuk mewujudkan kebijakan upah murah yang akan berdampak merosotnya daya beli pekerja dan menyebabkan kemiskinan. Kebijakan pengupahan seharusnya meninggalkan rezim upah murah dan didorong untuk mewujudkan upah yang lebih adil dan layak untuk pekerja dan keluarganya," tegas Rieke.

Dengan demikian, Rieke menyatakan sikap tegasnya supaya pemerintah menolak dan membatalkan PP Pengupahan yang berwatak upah murah. Di samping itu, katanya, Komisi IX mendesak pemerintah merevisi aturan turunan terkait pengupahan.

Antara lain, seperti Permenakertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Tahapan Pencapaian KHL, Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum dan Kepmenakertrans No. 49 Tahun 2004 tentang Struktur Skala Upah yang mengarah kepada pemenuhan upah layak terutama melalui kebijakan upah minimum dan struktur skala upah yang berkeadilan sosial.

Rieke juga mengusulkan kebijakan formulasi pengupahan nasional berbasiskan kebutuhan hidup riil untuk buruh lajang dan berkeluarga dengan rumusan formula KHL (riil) x {PDRB (nilai tambah produksi barang dan jasa dalam satu kurun waktu tertentu pada wilayah tersebut) + Inflasi (kenaikan harga-harga pada wilayah tersebut) + Indeks Risiko (daya beli yang turun akibat kebijakan ekonomi)}.

"Serta menghapus biaya siluman di industri dan memperkuat industrialisasi nasional," pungkas dia. (Fik/Zul)