Liputan6.com, Jakarta - Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tinggal dua bulan lagi, namun pemerintah masih dianggap kurang realistis terhadap paket kebijakan yang diluncurkan.
Pemerintah kembali didesak untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan Bank Indonesia (BI) segera menyesuaikan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) karena rupiah sudah menguat.
Pengamat Valas, Farial Anwar saat dihubungi Liputan6.com, mengatakan, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) lebih dipicu faktor eksternal dibandingkan efek paket kebijakan ekonomi jilid I sampai IV yang sudah dirilis pemerintah.
"Paket kebijakan ekonomi belum terlihat hasilnya, karena saking banyaknya mungkin agak sulit direalisasikan. Kebijakan pun tidak realistis, misalnya diskon listrik di tengah malam, mana ada orang kerja tengah malam. Pabrik kan mulai beroperasi dari pagi, tapi yang dapat keringanan malam," paparnya di Jakarta, Minggu (18/10/2015).
Farial berharap, pemerintah dapat menurunkan harga BBM jenis premium setelah harga jual solar disesuaikan sebesar Rp 200 per liter pada paket kebijakan ekonomi jilid III. Dengan kebijakan ini, daya beli masyarakat kembali meningkat dan membantu beban industri.
"Mudah-mudahan bisa dilanjutkan dengan penurunan harga premium karena harga minyak dunia masih melemah dan rupiah sudah menguat. Jadi sebenarnya tidak ada alasan lagi bagi pemerintah dan Pertamina tidak menyesuaikan harga Premium," tegas dia.
Selain itu, lanjutnya, nilai tukar rupiah yang terapresiasi dan terkendalinya inflasi dapat menjadi pertimbangan otoritas moneter, BI untuk menurunkan BI rate. Sehingga bunga kredit di perbankan bisa ikut diturunkan. Kebijakan ini mampu membuat industri memiliki daya saing saat memasuki MEA.
"Tidak ada alasan juga buat BI masih mempertahankan suku bunga yang tinggi, padahal dolar AS sudah melemah dan LPS saja sudah turunkan rate-nya. Suku bunga tinggi buat apa sih? Supaya orang tertarik pegang rupiah? Saya rasa tidak akan berhasil, karena masih ada capital hot money yang bisa bikin dolar balik lagi," jelas dia. (Fik/Ndw)