Liputan6.com, Jakarta - Bank ‎Dunia meramalkan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,3 persen pada 2016. Laju pertumbuhan tersebut masih akan dibayangi risiko kenaikan tingkat suku bunga The Federal Reserve Amerika Serikat (AS) sampai kemarau panjang akibat El Nino.
Demikian disampaikan Ekonom Utama Bank Dunia, Ndiame Diop saat paparan Laporan Kuartalan Ekonomi Indonesia yang berjudul "Di Tengah Volatilitas Dunia" di Gedung Energy Paramadina Public Policy Institute, Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Diop menjelaskan secara lengkap, pertumbuhan ekonomi RI pada 2016 sebesar 5,3 persen, indeks harga konsumen atau inflasi 5,5 persen, neraca defisit transaksi berjalan 2,6 persen terhadap PDB atau lebih tinggi dibanding proyeksi 2015 sebesar 2 persen dari PDB.
"Proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun depan sebesar 5,3 persen. Tapi disertai risiko seperti kemungkinan naiknya suku bunga Amerika, perlambatan di negara-negara mitra dagang seperti China, pelemahan di sektor swasta akibat depresiasi nilai tukar dan berkurangnya marjin keuntungan, serta kemarau akibat pola cuaca El Nino," jelas Diop.
Lebih jauh dia mengungkapkan, proyeksi pertumbuhan in‎i sejalan dengan asumsi di Rancangan APBN 2015. Hal tersebut, sambungnya, ditopang dari kenaikan signifikan belanja infrastruktur bulanan sejak Juli dan meningkatnya perencanaan maupun pelaksanaan proyek pemerintah akan memberi sedikit dorongan pada investasi tetap menjelang akhir 2015.
"Tapi sebagian besar dampaknya terhadap pertumbuhan PDB diperkirakan terasa di tahun depan. Peningkatan pertumbuhan di 2016 juga disokong penguatan kegiatan ekonomi di zona Euro, Jepang serta kenaikan perdagangan dunia, walaupun laju pertumbuhan masih secara signifikan di bawah rata-rata 2008. Jadi permintaan komoditas membaik, ekspor dan investasi bakal mengalami kenaikan," terangnya.
Sementara risiko yang masih mewarnai ekonomi Indonesia pada 2016, dikatakan Diop, berasal dari penurunan permintaan dan harga komoditas masih rendah dari proyeksi menjadi risiko utama. Di samping itu, ada pula risiko yang timbul dari volatilitas pasar keuangan terkait dengan ketidakpastian dari laju dan normalisasi kebijakan moneter AS.
"Depresiasi rupiah secara signifikan, kenaikan biaya pendanaan kembali, tidak cukupnya perlindungan nilai dari utang dalam valuta asing dan penurunan marjin keuntungan telah melemahkan neraca dunia usaha terutama di sektor sumber daya alam. Jadi besarnya hambatan dan terbatasnya ruang kebijakan, peningkatan dalam prospek pertumbuhan dasar akan bergantung pada implementasi dari paket kebijakan yang baru dimumkan," tegas dia.
‎Dari tantangan El Nino, Bank Dunia memperkirakan kemarau panjang masih akan terjadi sehingga dapat mengakibatkan harga beras melambung 10 persen per tahun. Tambahan inflasinya 0,3 persen-0,6 persen dan laju inflasi rumah tangga pada kisaran 1 persen-2 persen. Rumah tangga pertanian harus menghadapi pendapatan secara signifikan lebih rendah.
Diop mengaku, harga beras produsen dalam negeri mencatat peningkatan sebesar rata-rata 16,6 persen Yoy dari Juni-September 2015 di mana pada periode itu, harga beras internasional mengalami penurunan. Tekanan harga bahan pangan meningkat pada beberapa bukan terakhir akibat kekeringan El Nino.
"Upaya membantu dunia usaha dan masyarakat, serta reformasi regulasi mengatasi birokrasi guna investasi dan ekspor akan sangat menolong, termasuk upaya reformasi lain yang akan memperkuat iklim investasi dan mendorong pertumbuhan. Perhatian juga diberikan pemerintah ke sektor manufaktur dan pariwisata, sehingga ini bisa meningkatkan pendapatan dan mencegah defisit transaksi berjalan kian lebar seiring penguatan pertumbuhan," tandas Diop. (Fik/Gdn)
Ini Tantangan Perekonomian RI di 2016
Bank Dunia memperkirakan kemarau panjang masih akan terjadi sehingga dapat mengakibatkan harga beras melambung 10 persen per tahun.
Advertisement