Liputan6.com, Jakarta - Indonesia pernah dijuluki sebagai negara Macan Asia, karena disegani dalam segala bidang termasuk ekonomi. Negara ini rata-rata mendulang pertumbuhan ekonomi 5 sampai 6 persen dalam periode beberapa tahun terakhir.
Kini, Indonesia harus menelan pil pahit karena fenomena perlambatan, sehingga ekonomi Republik ini hanya mampu bertumbuh 4,6 persen di kuartal I 2015 dan 4,7 persen pada kuartal II 2015.
"Dulu kita pernah jadi Macan Asia. Tapi tidak mudah Macan Asia ini bisa bangkit kembali," ujar Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro saat Laporan Kuartalan Ekonomi Indonesia di Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Advertisement
Pemerintah, kata Bambang, telah melakukan reformasi birokrasi dan debirokrasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dia mengaku, reformasi anggaran dipacu sehingga pemerintah mampu menggenjot belanja.
"Anggaran subsidi energi digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur, dan ini pertama kalinya anggaran lebih tinggi dibanding anggaran energi. Dari sisi reformasi perpajakan, kita berupaya meningkatkan kepatuhan perpajakan sehingga masih ada potensi penerimaan dan mengurangi pembiayaan dari luar negeri," jelasnya.
Pemerintah pun mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta untuk ikut berpartisipasi menggarap proyek jalan tol, bandara, pelabuhan dan sebagainya. Termasuk paket kebijakan ekonomi jilid I-IV yang sudah dirilis pada September-Oktober ini, dan paket kebijakan jilid V yang rencananya diumumkan hari ini.
"Hasilnya, Indonesia masih mengalami pertumbuhan cukup baik dibanding Brazil dan Rusia. Inflasi terjaga 6 persen YoY (year on year) dan investasi masih bertumbuh, neraca perdagangan mengalami surplus dan kepercayaan investor tetap berinvestasi di Tanah Air. Tapi rasio utang kita tetap terjaga 25 persen dari PDB dan anggaran defisit di bawah 3 persen. Kita melakukan dan menyiapkan strategi fiskal," terangnya.
Namun demikian, kata dia, Indonesia masih menghadapi ketidakpastian karena rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), pelemahan ekonomi dunia dan beberapa negara maju yang semula diharapkan menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi.
"Ketidakpastian jadi fenomena wajar, banyak yang tidak bisa diprediksi. Jadi memang harus memangkas proyeksi (pertumbuhan)," tandas Bambang. (Fik/Zul)