Liputan6.com, Jakarta - Kemasan makanan telah dimanfaatkan oleh manusia sejak zaman dahulu. Dan seiring berjalannya waktu serta peningkatan gaya hidup manusia, tempat penyimpanan makanan ini pun terus mengalami perkembangan.
Peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI, Lisman Suryanegara mengatakan, pemanfaatan bahan yang digunakan sebagai kemasan antara lain keramik, kaca, plastik, aluminium foil, hingga yang berbahan dasar kertas.
Namun, jika berbicara tentang kemasan pangan berbahan dasar kertas yang paling lazim digunakan di Indonesia, ternyata masih banyak yang belum layak untuk dijadikan sebagai kemasan pangan primer atau yang bisa kontak langsung dengan makanan.
"Sebagai contoh, masih banyak ditemukan penggunaan kertas koran, kertas bekas cetakan, atau kertas daur ulang sebagai kemasan nasi kotak, nasi bungkus, gorengan, dan lain-lain," ujarnya di Jakarta, Sabtu (31/10/2015).
Menurutnya, hal ini karena belum ada regulasi atau standar yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatur jenis kertas yang dapat digunakan secara khusus sebagai kertas kemasan pangan primer.Â
Baca Juga
Berbeda dengan negara-negara maju seperti Uni Eropa yang memiliki regulasi standarisasi European Commission (EC) 1935/2004 untuk kemasan pangan berbahan baku kertas dimana ambang batas parameter senyawa kimia berbahaya seperti logam berat dan lain-lain diatur secara spesifik berdasarkan jenis senyawa dan tingkat kandungannya, serta identifikasi asal muasal dan ambang batas cemaran bahan kertas.
Begitu pula dengan Amerika Serikat dalam United States Food and Drug Administration (U.S. FDA) yang mempersyaratkan produsen kertas kemasan pangan untuk menjabarkan daftar semua bahan baku yang digunakan untuk memproduksi kemasan pangan primer.
"Hal serupa juga diterapkan oleh China melalui regulasi standarisasi Guo Biao (GB)," lanjutnya.
Lisman menjelaskan, kertas bekas dan kertas daur ulang pada umumnya mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya seperti logam berat dalam tinta cetak, lilin, dan zat pemutih. Bahkan mikroorganisme dan jamur dapat tumbuh pada kertas bekas.
Keseluruhan bahan-bahan berbahaya ini dapat berpindah dari kemasan ke bahan pangan, terutama jika ada faktor-faktor yang memicu migrasi, seperti jenis bahan pangan, jenis bahan kemasan, waktu kontak, luas permukaan kontak, suhu, dan konsentrasi.
"Zat-zat kimia tersebut berdampak negatif terhadap tubuh manusia dan dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, kerusakan hati dan kelenjar getah bening, menganggu sistem endokrin, gangguan reproduksi, meningkatkan resiko asma, dan mutasi gen," kata dia.
Penemuan menarik lainnya yaitu adanya kandungan logam berat yang relatif tinggi di dalam kertas kemasan yang terbuat dari serat daur ulang. Selain itu, kandungan mikroorganisme pada kertas tersebut memiliki nilai tertinggi dibandingkan jenis kertas lainnya.
Sementara itu, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya menyatakan, memang sudah seharusnya Indonesia memiliki standar keamanan untuk produk-produk kemasan pangan dari kertas.
"Sudah saatnya Indonesia memiliki standar keamanan kemasan pangan kertas yang dapat menjamin kesehatan konsumen sekaligus meningkatkan kualitas produk yang dibuat oleh produsen agar memiliki daya saing di pasar internasional," ungkapnya.
Atau sebagai alternatif lainnya, kata Bambang, masyarakat dapat menggunakan kemasan pangan berkategori food grade yang seratus persen terbuat dari serat alami dengan ciri-ciri tampilan berwarna putih bersih, tidak berbintik-bintik, dan tidak tembus minyak.
"Kemasan ini juga tidak mengandung senyawa berbahaya seperti benzene dan styrene (bahan baku styrofoam), serta bebas dari bakteri. Di samping itu, karton food grade yang berasal dari serat alami ini juga bersifat ramah lingkungan karena mudah terurai," tandasnya.