Liputan6.com, Jakarta - Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) mengundang kontra dari Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi. Ia berpendapat seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menolak kebijakan tersebut untuk kepentingan rakyat.
"Fiskal lagi sempit sampai harus memotong subsidi buat rakyat, tapi malah dapat THR. Hal ini bisa sangat mengiris hati rakyat," ujar Uchok saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (10/11/2015).
Ia menilai uang negara senilai Rp 7,5 triliun yang rencananya digunakan untuk membayar THR seluruh PNS termasuk Presiden dan Wapres, lebih baik dialokasikan untuk belanja produktif.
Advertisement
"Tidak pantas Presiden menerima THR, termasuk PNS, apalagi kinerjanya belum terlihat. Penerimaan negara juga lagi rendah, di mana kepedulian mereka," kata Uchok.
Baca Juga
Direktur Penyusunan APBN Kemenkeu Kunta Wibawa Dasa Nugraha sebelumnya menyatakan anggaran kenaikan gaji pokok PNS sama dengan alokasi THR untuk seluruh PNS. Dengan kata lain, tidak ada anggaran belanja pegawai di APBN 2016 yang bisa dihemat dengan kebijakan baru itu.
"Kenaikan gaji dan pemberian THR sama saja. Tapi ke depannya THR tidak berdampak pada kenaikan pensiun," ujar Kunta.
Kunta mengakui jumlah uang yang diterima pensiunan PNS setiap bulan tergantung gaji pokok terakhir mereka. Artinya, efisiensi APBN melalui pemberian THR belum akan dirasakan dampaknya pada tahun depan saat kebijakan berjalan, melainkan di tahun-tahun mendatang.
Tujuan lainnya dari penerapan THR, katanya, pemerintah melaksanakan kewajiban kepada seluruh PNS untuk memberikan THR. Namun Kunta tidak mau mengakui ketika ditanya apakah selama ini para PNS tidak menerima THR.
"Pemerintah melaksanakan kewajiban memberi THR pada pegawainya, tapi beda dengan gaji ke-13. Gaji ke-13 itu adalah hak karena kita menghitungnya 1 tahun ada 52 minggu. Itu berarti sama dengan 13 bulan," tutur Kunta. (Fik/Ahm)**