Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) masih menunggu keputusan mengenai pengoperasian dan pengelolaan Blok Masela, ladang gas abadi di Tanah Maluku yang apakah melalui pembangunan pabrik terapung di tengah laut atau di darat. Menurut JK, hasil yang didapat oleh negara harus menguntungkan, tapi dengan biaya operasional rendah.Â
"Ya itu tentu para ahli yang menentukan efisien atau tidak. Tapi yang penting jangan lupa itu bagi hasil. Berarti kalau ongkosnya mahal maka yang diterima negara juga kecil, jadi haruslah cari yang paling cepat dan efisien," ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Veteran, Jakarta, Senin (16/11/2015).
JK tampak enggan menanggapi silang pendapat antara SKK Migas dengan Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengenai tempat pengelolaan Blok Masela, apakah dilakukan di laut lepas atau di daratan. Walau tertunda pengoperasiannya, eksplorasi Blok Masela dapat dilakukan dalam waktu yang tidak sebentar. "‎Walaupun hari ini kita mulai butuh 5-6 tahun lagi baru bisa," tuturnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengungkapkan, ada usulan pembangunan pabrik pengolahan gas terapung. Argumen itu ditentang Rizal karena membangun pabrik di tengah laut biayanya lebih mahal dibanding di darat.
"Pabrik ini tingginya tiga kali Monas dan besarnya lima kali dari kapal induk AS. Argumen yang diberikan pembangunan pabrik terapung lebih murah dibanding di darat. Itu saja sudah ngawur, mana mungkin di darat lebih mahal," terang Rizal beberapa minggu lalu.
Salah satu perusahaan, kata Rizal, menawarkan atau menjual teknologi pabrik terapung. Hanya saja, teknologi ini masih diuji coba di Australia sehingga terjadi kenaikan biaya 1,5 kali.
"Kita jangan mau jadi kelinci percobaan lagi. Pejabat kita terima info mentah-mentah tanpa melakukan evaluasi," jelasnya.
Dia mengaku, jika pabrik pengolahan gas berada di darat, Indonesia bisa membangun kota yang lebih besar dari Balikpapan. Pasalnya, lanjut Rizal, di area tersebut dapat didirikan pabrik oleochemical, pabrik pupuk dan sebagainya sehingga perekonomian di wilayah Maluku dan Indonesia Timur kembali bergeliat.
"Orang Maluku marah sekali ketika zaman Belanda, ekonomi Maluku sangat maju, pendidikan mereka nomor dua tertinggi se-nasional sehingga banyak doktor, profesor, terlahir dari putra putri Maluku. Tapi setelah merdeka, Maluku nomor tiga wilayah paling miskin, pendidikan nomor empat terendah, banyak ikan diekspor dari laut Maluku, tapi rakyatnya tidak dapat apa-apa," paparnya. (Luqman Rimadi /Gdn)*