Sukses

Ini Alasan Perusahaan India Seret RI ke Arbitrase

Pemerintah menilai perusahaan India yang mengajukan arbitrase tidak melakukan legal audit sebelum masuk perusahaan batu bara di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Mineral ‎ dan Batu Bara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan gugatan arbitrase perusahaan tambang asal India disebabkan kesalahan penerbitan izin pemerintah daerah.

Kepala Bagian Hukum Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Heriyanto‎ mengatakan, pengajuan gugatan arbitrase ‎dilakukan oleh India Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA).

IMFA, sebuah perusahaan berbadan hukum India, mengajukan gugatan karena tidak bisa melakukan kegiatan penambangan batu bara. Hal itu disebabkan oleh tumpang tindih lahan dengan 7 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kabupaten dan Provinsi.

"Mereka sudah tahap IUP produksi karena tumpang tindih lahan," kata Heriyanto, di Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Jakarta, Rabu (18/11/2015).

‎Heriyanto mengungkapkan, IMFA mengelola lahan seluas 3.600 hektare, IUP perusahaan tambang India tersebut adalah Pemerintah Kabupaten Barito Timur Provinsi Kalimantan Tengah pada 2006 kepada PT Sri Sumber Rahayu Indah. PT Sri Sumber Rahayu kemudian menjualnya ke perusahaan asal India tersebut dengan harga US$ 8,7 juta pada 2010.

Akan tetapi luas wilayah tambangnya meliputi Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Hal ini melangar ketentuan clean and clear (c&c).

"Izin bupati Barito Timur 2006. Ini preseden buruk bagi perusahan non CNC dibeli perusahaan asing," tutur Heriyanto.

Menurut dia, pengajuan tuntutan tersebut bukan kesalahan pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah yang memberikan izin dengan sembarang ke perusahaan tambang.

"Harusnya bisa dibantah pemerintah, tapi yang salah pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Akan tetapi pihak luar negeri tahunya pemerintah Indonesia," ungkapnya.

Heriyanto menambahkan, perusahaan tersebut juga tidak melakukan legal audit terlebih dahulu sebelum membeli perusahaan sebelumnya.

"Kalau kami lihat kelemahannya perusahaan itu membeli tidak melakukan legal audit terhadap perusahaan harusnya dilakukan sebelum akuisisi, dan bertanya kepada pemerintah apakah yang clear CNC-nya," tutur Heriyanto.

Gugatan sudah masuk arbitrase pada 23 September 2015. Pemerintah akan melakukan sidang perdana di Persidangan Arbitrase Singapura pada 6 Desember 2015. Dalam gugatan tersebut pemerintah digugat US$ 581 juta atau Rp 7,7 triliun. (Pew/Ahm)*

 
Â