Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai adanya praktik usaha yang tidak sehat di industri farmasi sehingga membuat harga obat cenderung lebih mahal. mahalnya harga obat tersebut terjadi untuk jenis paten dan generik bermerek.
Komisioner KPPU Sukarni menduga, ada beberapa faktor yang menyebabkan dua jenis obat tersebut relatif mahal. Pertama, karena dugaan karena adanya interaksi antara industri farmasi dan dokter.
"Sedangkan dari sisi aturan sudah tidak diperbolehkan, beberapa hari lalu untuk DPR meminta kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk melarang dokternya membuat transaksi dengan farmasi," ujarnya di Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Baca Juga
Kemudian, adanya dugaan penggabungan usaha (merger) yang membuat industri obat tersebut menjadi dominan. Alhasil, industri tersebut bisa menjadi penentu harga. "Merger dan akuisisi farmasi menyebabkan posisi dominan beberapa pelaku," kata dia.
Dugaan lain adalah adanya penetapan harga jual lagi. Sukarni mengatakan, harga eceran tertinggi (HET) yang sudah diatur ialah untuk obat generik. Sebaliknya, untuk generik bermerek dan paten masih diserahkan ke mekanisme pasar.
"Kalau kita lihat ada harga obat HET tapi bisa jadi pergi ke apotik lain harga beda-beda, banyak cara mungkin diskon tertentu sehingga menjual lebih murah. Harusnya tidak boleh resale price maintenance (RPM) menetapkan harga jual kembali," ujarnya.
Melihat masalah itu, Sukarni mengatakan harusnya dokter memberikan rekomendasi jenis obat bukan merek obat kepada pasien. Sehingga, konsumen memiliki alternatif pembelian dan mendapatkan harga lebih murah.
Kepada pemerintah, dia meminta supaya diterapkan batas atas untuk penjualan obat. "Pemerintah harus menetapkan batas atas supaya terjadi mekanisme persaingan dan konsumen diberikan pilihan," tandas dia. (Amd/Gdn)