Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah serikat buruh masih menuntut kenaikan upah minimum lebih dari yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Tak tanggung-tanggung, kenaikan yang diminta antara 22 persen-25 persen atau sekitar Rp 500 ribu.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asoasiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Haryadi Sukamdani menyatakan, sejumlah wilayah sudah menaikan upah minimum cukup tinggi.
Jika dipaksakan untuk kembali dinaikkan, maka akan berdampak buruk bagi iklim bisnis dan investasi. Dia mencontohkan, upah minimum kabupaten/kota (UMK) di Kabupaten Tarakan sudah menjadi paling tinggi di Kalimantan. Namun, imbasnya tidak ada investasi yang masuk ke kebupaten tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Saya ambil contoh Tarakan adalah kabupaten tertinggi di Kalimantan. Tapi walikotanya bingung tahun ini tidak ada investasi," ujar Haryadi di Jakarta, Jumat (20/11/2015).
Selain tidak ada investasi, upah minimum tinggi ini malah membuat perusahaan-perusahaan di wilayah tersebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Haryadi menyebutkan jumlahnya pun cukup besar."Bahkan terjadi lay off yang sangat signifikan," lanjutnya.
Dia mengungkapkan, upah minimum tinggi tersebut membuat perusahaan tidak mengikutsertakan para pekerjanya dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini diperkirakan karena banyaknya biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk pekerjanya.
"Hasil temuan teman-teman Dewan Pengupahan Nasional di sana. Perusahaan banyak tidak mengikuti BPJS Kesehatan. Ini lampu merah juga. Makanya ingin kita perbaiki‬," tandas dia. (Dny/Ahm)