Liputan6.com, Jakarta - Industri ekstraktif disebut sebagai bisnis yang rawan korupsi sehingga transparansi menjadi vital bagi perusahaan minyak dan gas (migas) maupun tambang minerba. Ironisnya, pemerintah hanya mampu diam atas tindakan pengeruk kekayaan alam Indonesia yang mangkir melaporkan data penerimaan pajak atau non pajak.
Ketua Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif, Montty Giriana mengungkapkan, laporan terbaru EITI (Extractive Industries Transparency Initiative) 2012-2013 menunjukkan, dari total 172 perusahaan migas yang masuk dalam cakupan laporan rekonsiliasi, sebanyak 10 partner tidak melapor data penerimaan. Sebanyak 174 perusahaan migas tersebut terdiri dari 72 operator dan 102 partner.
Berdasarkan hasil penerimaan pajak dari sektor migas untuk periode 2012-2013, persentasenya sebesar 1,09 persen dan 0,37 persen. Sementara dari 108 perusahaan minerba yang masuk dalam cakupan rekonsiliasi, sebanyak 21 perusahaan tidak melapor.
Baca Juga
"Belum ada reward and punishment bagi yang melapor dan tidak. Sifatnya masih sukarela. Mungkin ke depan kita cari skema reward and punishment yang tepat untuk memperbaikinya. Tapi harus bicara dulu dengan industri," kata Montty di kantornya, Jakarta, Senin (23/11/2015).
Sementara Mantan Menteri Lingkungan Hidup Era Orde Lama, Emil Salim menegaskan, perusahaan migas dan tambang mineral mengantongi penghasilan sangat besar dari kegiatan ekstraksi (mengambil bahan baku dari alam). Seharusnya itu bisa dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai amanat Undang-undang (UU).
"Kami tidak ingin mencari kambing hitam, tapi diminta supaya mereka transparan. Umumkan berapa yang diperoleh dan dibayarkan ke negara. Jangan tertutup, karena korupsi tertinggi di negara ini adalah industri ekstraktif karena penerimaan yang begitu besar," tegas Emil.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini mengatakan, jika ada indikasi penyimpangan, maka pantaslah diseret ke ranah hukum. Selanjutnya, Emil menyerahkan sanksi yang harus dibayar perusahaan ini kepada hukum yang berlaku di Indonesia.
"Biar hukum yang menetapkan punishment-nya. Tapi tugas kita membongkar ketidaktransparan ini. Dari hasil jawaban mereka kan bisa diukur, perlu dibawa ke pengadilan atau tidak maupun ditindaklanjuti atau tidak," tukas Emil. (Fik/Gdn)