Sukses

Menaker: PP Pengupahan Justru Menguntungkan Buruh

Dari 28 provinsi yang telah melaporkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 kepada pemerintah, 15 provinsi di antaranya belum ikut.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah serikat buruh hingga saat ini masih menggelar aksi mogok nasional sebagai bentuk penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang dianggap merugikan kaum buruh.

Namun hal berbeda disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Ia justru menilai PP ini akan menguntungkan kalangan buruh.

Dia mengatakan dari 28 provinsi yang telah melaporkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 kepada pemerintah, 15 provinsi di antaranya belum mengikuti sistem formula dalam PP Pengupahan.

Hasilnya, kenaikan upah minimum di daerah tersebut relatif kecil, berkisar antara 6-9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11,5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jelas bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan itu sangat menguntungkan buruh. Faktanya, dari semua provinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11,5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS. Adapun provinsi yang tidak menggunakan PP Pengupahan, kenaikan UMP-nya berkisar 6-9 persen. Jadi malah lebih kecil kenaikannya kalau tidak pakai PP Pengupahan", ujarnya di Jakarta, Rabu (25/11/2015).

Oleh karena itu, kata Hanif, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh.

Hanif mengungkapkan PP Pengupahan bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga menguntungkan mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha.

"Semuanya diuntungkan dengan PP Pengupahan ini. Buruh diuntungkan karena upah pasti naik setiap tahun dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Dunia usaha juga diuntungkan karena ada kepastian menyangkut besaran kenaikan upah setiap tahun, sehingga dunia usaha bisa berkembang dan memperbanyak lapangan kerja. Kalangan pengangguran yang 7,5 juta orang atau mereka yang belum bekerja juga diuntungkan karena peluang kerja makin banyak, sehingga mereka bisa masuk ke pasar kerja dan mendapat pekerjaan untuk penghidupan mereka," dia menjelaskan. 


Menurut Hanif, di luar itu juga masih banyak keuntungan yang didapat buruh dengan adanya PP Pengupahan. Misalnya, diatur juga mengenai pendapatan non-upah seperti bonus, THR, uang service dan lain-lain yang menjadi hak buruh. Buruh yang berhalangan, baik karena sakit atau menjalankan tugas serikat pekerja, juga wajib dibayar.

Struktur dan skala upah di mana pengupahan mempertimbangkan masa kerja, golongan/jabatan, pendidikan, prestasi dan lain-lain juga wajib diterapkan oleh perusahaan, sehingga upah buruh bisa adil, proporsional, dan layak.

Perusahaan yang tidak menjalankan struktur dan skala upah diancam sanksi sesuai UU 13/2003 dan ditambah sanksi administratif dalam PP Pengupahan, seperti sanksi pemberhentian sebagian atau seluruh proses produksi hingga pembekuan perusahaan.

"Banyak sekali keuntungan yang diperoleh buruh dengan PP Pengupahan. Saya gagal paham kalau masih ada yang menolak, kecuali karena ada kepentingan yang bersifat non-buruh", kata dia.

Oleh karena itu, Hanif berharap semua pihak dapat menerima PP Pengupahan sebagai kebijakan terbaik yang bisa diambil saat ini.

"Dalam hidup bernegara, siapa pun bisa menyampaikan aspirasi. Tapi harus dipahami, kita tidak bisa memaksakan kehendak sendiri. PP Pengupahan ini sudah win-win, semua menang," ucapnya. (Dny/Nrm)**