Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, pembentukan Menteri Penghubung yang bertugas mempromosikan investasi dalam negeri tidak terlalu krusial. Pasalnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dianggap cukup mengemban tugas tersebut.
Enny mengatakan, kinerja BKPM terhitung cukup mumpuni. Hal ini terlihat dari persetujuan investasi yang tumbuh di atas 16 persen. "Persoalan investor itu bukan kurangnya promosi. Siapa yang tidak mengerti begitu menariknya Indonesia? Indonesia tujuan investasi yang menarik," katanya, di Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Namun begitu, produktivitas dari realisasi investasi yang tecermin dalam pembentukan modal tetap bruto (PMTB) masih rendah. Dia mengatakan, rata-rata PMTB dari kuartal I hingga III hanya 4,23 persen.
Menurut Enny, hal tersebut karena tidak mendukungnya infrastruktur dasar serta adanya penghambat yang ada di pemerintah daerah. "BKPM lebih dari cukup, karena persetujuan investasi di BKPM tinggi," tegas Enny.
Baca Juga
Tak sekadar itu, hal tersebut juga disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan kredit. Enny menilai, persoalan ini lebih baik diselesaikan terlebih dahulu. "Menjadi kunci kualitas pertumbuhan ekonomi kita ke depan untuk perbaiki sektor industri. Beban tak mungkin di ke Kementerian Perindustrian saja. Butuh dukungan energi, infrastruktur dan insentif," tandas dia.
Sebelumnya, Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan pihaknya optimistis dapat bersaing dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. BKPM pede karena survei menyebutkan, Indonesia berada di posisi dua sebagai tujuan investasi paling menarik pada KTT APEC.
Menurutnya, hal ini didasari oleh persepsi positif kalangan pelaku usaha terhadap potensi investasi di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Price Waterhouse Coopers (PwC) yang dirilis dalam pelaksanaan KTT APEC, Indonesia ditempatkan sebagai tujuan investasi favorit nomor dua, setelah China. Dalam survei ini, Indonesia berada di atas negara ASEAN lainnya terutama Vietnam, Malaysia dan Singapura.‬
"Hasil survei tersebut sejalan dengan data FDI Markets Financial Times, di mana pada periode Januari-September 2015, FDI yang masuk ke Indonesia tertinggi di ASEAN, sebesar US$ 20,96 miliar atau 29,12 persen. Diikuti berikutnya oleh Vietnam US$ 14,06 miliar atau 19,54 persen dan Myanmar US$ 9,22 miliar atau 12,81 persen," ujarnya.
Franky mengungkapkan, saat ini pemerintah berusaha keras untuk dapat mengonversi persepsi positif terhadap investasi ke Indonesia ini ke dalam realisasi investasi. Dengan demikian, hal ini akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian.
Terbaru, BKPM bersama kementerian/lembaga terkait sedang menyusun panduan investasi, untuk mengakomodasi dan memberikan kepastian hukum terhadap sektor-sektor usaha yang baru berkembang, seperti bisnis pemakaman, senior living dan ekonomi digital.
"Adanya panduan investasi yang jelas merupakan salah satu daya saing investasi sebuah negara. Seperti Myanmar yang secara tegas menyebutkan seluruh sektor usaha dapat dimasuki oleh investor asing, kecuali sektor distribusi. Indonesia akan memperjelas panduan investasinya, terutama sektor mana yang dibuka untuk asing dan mana yang tidak," kata dia.
Menurut Franky, di antara negara-negara ASEAN, yang menjadi saingan berat Indonesia sebagai negara tujuan investasi adalah Vietnam dan Myanmar. Dari analisisnya, Indonesia dan Vietnam selalu bersaing ketat dalam menarik outward investment dari 7 negara mitra ASEAN, yaitu Amerika Serikat, Jepang, Korea, China, Australia, Selandia Baru, dan India. (Amd/Gdn)*