Sukses

Aturan Soal Biodiesel Belum Seragam

Indonesia sudah memiliki energi terbarukan yang sangat ramah lingkungan, yakni biodiesel.

Liputan6.com, Jakarta - Biodiesel yang berasal dari tumbuhan, seperti tanaman jarak maupun kelapa sawit kini tengah menjadi primadona Indonesia untuk dikembangkan sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah sedang menggalakkan penggunaan biodiesel pada Solar sebesar 20 persen pada tahun depan.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldi Dalimi mengungkapkan, biodiesel merupakan bahan bakar yang diambil dari tanaman jarak, singkong, bunga matahari dan kelapa sawit. Indonesia adalah negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

"Indonesia dicap Arab Saudinya biofuel atau biodiesel oleh dunia. Kalau kita ke depan bisa seperti itu, maka kita bisa semakmur Arab Saudi jika harga biofuel sudah dapat bersaing dengan minyak," ujarnya usai menghadiri diskusi Energi Kita, Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Rinaldi mendukung penuh langkah pemerintah Joko Widodo (Jokowi) membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) yang bertugas mengumpulkan celengan sawit dari pengusaha.


Dari data BPDP, hingga akhir tahun ini, total dana pungutan yang terkumpul diperkirakan tidak akan mencapai angka Rp 7 triliun. Sedangkan pada tahun depan, diharapkan dana pungutan sawit akan mencapai Rp 9,6 triliun. Sementara dana yang sudah berhasil dihimpun saat ini lebih dari Rp 4 triliun. 

"Pemerintah memberikan subsidi ke biodiesel, itu sangat bagus. Artinya sudah ada jaminan subsidi sampai peningkatan campuran biodiesel ke Solar sebesar 30 persen. Sekarang kan baru B15. Produksi CPO kita mencukup untuk B30 industri dalam negeri," terangnya.

Upaya tersebut, sambung Rinaldi, sangat menguntungkan bagi produsen kelapa sawit untuk menjual produksi CPO di pasar domestik, termasuk PT Pertamina (Persero) yang ditunjuk untuk mencampur biodiesel-Solar dengan besaran 15 persen tahun ini dan 20 persen pada 2016.

Lebih jauh katanya, ada masalah dari masing-masing pemangku kepentingan yang mengeluarkan kebijakan berbeda sehingga menghambat implementasi energi terbarukan di Indonesia.

Sebagai contoh, Rinaldi mengaku, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), menetapkan feed in tariff yakni harga jual yang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan PT PLN (Persero) supaya investor bisa untung untuk membangun energi terbarukan.

"Di satu sisi itu bagus, tapi di sisi lain pemerintah memberikan subsidi untuk melindungi konsumen apabila biaya produksi naik akibat feed in tariff. Seharusnya konsumen dan produsen tidak ada masalah. Ketika mau dilaksanakan, ada stakeholder lain ingin mengurangi subsidi, sehingga feed in tariff tidak bisa digunakan," paparnya.

Ke depan, disarankan Rinaldi, perlu ada kesamaan rumusan skema tersebut. Jika tidak, PLN enggan membeli hasil listrik dari energi terbarukan dengan harga feed in tariff karena PLN diinstruksikan harus memangkas subsidi. BUMN itu harus memilih energi yang lebih murah.

"Jadi harusnya ada keputusan yang lebih tinggi, PLN harus begini, pemerintah sudah beri subsidi. Selesai itu masalahnya".


Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati menambahkan, Indonesia sudah memiliki energi terbarukan yang sangat ramah lingkungan, yakni biodiesel.

"Biodiesel kita nomor satu di dunia, tapi kapasitas terpasang baru 50 persen, padahal bisa 57 persen. Ini merupakan ketidakkonsistenan pemerintah untuk memberikan insentif bagi investor yang masuk ke biodiesel," ujarnya. (Fik/Gdn)