Sukses

Mundurnya Sigit Priadi Sebagai Dirjen Pajak karena Ada Tekanan?

Sigit Priadi Pramudito diharuskan mundur karena terdesak situasi dan kondisi.

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Anwar Nasution menduga pengunduran diri Sigit Priadi Pramudito sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan bukan saja karena alasan tidak sanggup mencapai target penerimaan pajak. Tapi ada faktor lain di balik sikap Sigit tersebut.

"Sikap Sigit pantas dihargai, karena kalau memang tidak sanggup, bilang tidak sanggup," ujar Anwar saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta (4/12/2015).

Katanya, posisi penting Dirjen Pajak diwarnai unsur kepentingan politis karena pemerintah perlu bekerjasama dengan parlemen untuk dapat menggolkan setiap program yang menyangkut pungutan pajak kepada rakyat. Belum lagi tekanan sana sini dengan kepentingan masing-masing, termasuk ada tudingan pihak yang ingin melindungi para pengemplang pajak.

"Dirjen Pajak mungkin dapat tekanan dari orang-orang yang mau mencari keuntungan. Langkah beliau yang benar dijegal oleh orang yang tidak suka dengannya. Mungkin orang ini yang melindungi orang yang tidak mau bayar pajak," ucap Anwar.


Ia mengaku, selama 70 tahun Indonesia merdeka, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 12 persen. Anwar menyebutnya sebagai kondisi memalukan yang tak pernah ditingkatkan pemerintah.

"Sudah 70 tahun merdeka, tax ratio memalukan, cuma 12 persen dari PDB. Pajak tidak pernah masuk, pendapatan semakin berkurang saat ekonomi resesi. Dan sekarang masih saja diberi keringanan atau insentif pajak," terangnya.

Meski mengapresiasi langkah Sigit mundur, namun Anwar menentang kebijakan pengampunan pidana pajak (tax amnesty). Penyebab mandeknya rasio pajak di Indonesia, menurutnya karena administrasi perpajakan yang buruk. Singapura contohnya, bisa memperkuat administrasi perpajakan, karena penegakkan hukum dan seluruh pejabatnya tidak mudah disogok.

"Lalu Indonesia, kenapa malah beri tax amnesty, keringanan pajak kepada orang yang menggelapkan pajak, menaruh dananya di luar negeri. Kenapa Indonesia tidak bisa minta Singapura buka rekening warga negara kita yang simpan uangnya di sana, sementara Prancis dan Amerika saja bisa melakukan hal itu kepada Swiss," tegas Anwar.

Seharusnya, disarankan Anwar, pemerintah Indonesia berunding dengan Singapura supaya akses rekening ke perbankan dibuka karena sudah ada kesepakatan antara negara-negara G20. "Tidak bisa lagi menilep pajak. Jadi harus dipaksa karena ini sudah jadi keputusan bersama," paparnya.

Cara paling realistis menggenjot penerimaan pajak, dengan menegakkan hukum secara tegas, memperkuat administrasi perpajakan di Indonesia. Jangan lagi ada toleransi atau melindungi para pengemplang pajak yang justru merugikan negara.


Sementara Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, Sigit Priadi Pramudito diharuskan mundur karena terdesak situasi dan kondisi. "Dengan sisa satu bulan di tahun ini, tidak mungkin target minimal tercapai. Maka kondisi yang ada menjadi justifikasi bagi dia (Sigit) untuk mundur," paparnya.

Dengan target penerimaan pajak yang naik tinggi sekitar Rp 1.300 triliun di APBN 2016, muncul kekhawatiran bahwa Dirjen Pajak setelahnya akan bernasib sama dengan Sigit di tengah ketidakpastian ekonomi dunia tahun depan.

"Jika kepemimpinan kuat dan taktis, saya yakin hasilnya bisa berbeda. Faktor kepemimpinan sangat menentukan konsolidasi dan koordinasi," pungkas Prastowo.