Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dinilai wajib menjadi pemegang saham mayoritas di PT Freeport Indonesia meski dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Freeport hanya wajib melepas 30 persen sahamnya ke pemerintah.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, dalam hal ini pemerintah harusnya mengikuti ketentuan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 yang menyatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
"Sebetulnya UU atau peraturan di bawahnya kalau berubah-berubah bisa saja terjadi. Tapi kalau mau konsisten dengan Pasal 33 bahwa penguasaan negara harus terwujud dijalankan oleh BUMN," ujarnya di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Menurutnya, jika ingin mengusai tambang yang dikelola oleh perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut, pemerintah harus memiliki saham minimal 51 persen di Freeport.
Baca Juga
"Yang namanya penguasaan harus megang saham mayoritas, artinya ya harus 51 persen. Kalau ada kesepakatan 30 persen yang pasti melanggar UU maka pemerintah punya pegangan lewat Pasal 33. Kita punya hak minta 51 persen minimal," kata dia.
Marwan mengungkapkan, kepemilikan saham sebesar 51 persen oleh pemerintah bisa dilakukan secara bertahap tergantung dari proses negosiasi dan ketersediaan dana pemerintah. Namun setidaknya saat kontrak Freeport habis pada 2021, pemerintah langsung bisa menguasai perusahaan tambang tersebut.
"Masalah itu, bertahap tergantung negosiasinya dan kemampuan keuangan. Sekarang boleh 30 persen, tapi 2021 minimal 51 persen dan itu oleh BUMN dan BUMD. Kalau di luar itu mau IPO silakan, tetapi di luar yang dikuasai negara tadi," tandasnya. (*)