Sukses

Ini Bedanya Buruh RI dengan Negara Lain soal JHT

Tujuan JHT sejatinya jaminan tersebut bisa dicairkan saat pekerja memasuki usia pensiun sekitar 56 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah belum dapat menyanggupi pemberian jaminan pengangguran seperti yang sudah diterapkan di negara-negara maju bagi pekerja di Indonesia.

Jaminan pengangguran tersebut dikucurkan sebagai tanggungan pemerintah ketika buruh atau pekerja di Indonesia mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN), Ridwan Max Sijabat dalam Focus Group Discussion/FGD 'Membedah Implementasi Era Baru Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia', mengungkapkan, jaminan sosial sesuai ketentuan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) meliputi: jaminan kesehatan, jaminan sakit, jaminan hari tua, dan jaminan pengangguran.

"Kan tidak selalu pekerja bekerja terus bukan karena keinginannya. Seperti di negara Barat, kalau warganya tidak bekerja akibat PHK, berhenti karena sudah tidak sanggup lagi bekerja, pemerintah harus memberi jaminan pengangguran kepada mereka. Tapi di sini, pemerintah cuek, mau mati ya biar saja," jelas dia di Warung Daun Cikini, Jakarta, Senin (14/12/2015).

Di negara maju lain, kata Ridwan, jaminan sosial berupa jaminan pengangguran disuntikkan kepada warganya yang sudah lagi tak bekerja meskipun dengan nilai yang kecil untuk modal mereka menjalani kehidupan sehari-hari.

Sementara di Indonesia, lebih jauh dikatakan Ridwan, pekerja yang terkena PHK justru berlomba-lomba mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagai andalan untuk menjalani kehidupan selanjutnya saat menganggur.

Padahal tujuan JHT sejatinya jaminan tersebut bisa dicairkan saat pekerja memasuki usia pensiun sekitar 56 tahun dan sudah tidak bekerja lagi.

"Paling ngenes, beberapa perusahaan besar melakukan PHK massal, lalu diambil JHT-nya. Akhirnya pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan terpaksa mencairkan JHT," jelas Ridwan.

Dalam ketentuan ILO, JHT dapat diambil saat usia pekerja memasuki masa pensiun 56 tahun. Jumlahnya pun berkisar 40-45 persen dari total penghasilan pekerja.

"Jadi ini yang belum bisa diimplementasikan. Kita hanya ikut-ikutan supaya dicap pro pekerja, padahal pelaksanaan kebijakan jaminan sosial sangat terburu-buru dan setengah hati," pungkas dia. (Fik/Nrm)*