Liputan6.com, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia pada November 2015 diramalkan bakal surplus US$ 900 juta atau lebih rendah dibanding realisasi bulan sebelumnya US$ 1,01 miliar.
Mampukah surplus tersebut mengerek kembali kurs rupiah yang sudah sejak sepekan lalu terdepresiasi hingga menembus level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS)?
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengungkapkan, pengaruh kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS terhadap nilai tukar rupiah sangat besar, sehingga prediksi surplus neraca perdagangan pun diyakini tak akan mampu menangkis dampak penyesuaian Fed Fund Rate.
"Kebijakan perubahan tingkat bunga biasanya akan membuat pemilik dana terpengaruh dibanding lebih dari sekadar data," ujar Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (14/12/2015).
Baca Juga
Â
Advertisement
Baca Juga
Untuk diketahui, Ekonom Grup Research DBS Bank Ltd, Gundy Cahyadi memproyeksikan surplus neraca perdagangan November ini sekitar US$ 900 juta.
Dijelaskan Darmin, kurs rupiah mengalami tekanan hebat selama sepekan terakhir akibat rencana eksekusi kenaikan suku bunga The Fed yang akan diputuskan pada 16-17 Desember ini.
"Rupiah melemah karena ada kenaikan bunga kebijakan The Fed di AS. Lalu biasalah orang berspekulasi, jadi (pelemahan) masih bisa terjadi karena The Fed akan rapat," ujarnya.
Merespons kondisi tersebut, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) siap meluncurkan kebijakan untuk meredam volatilitas kurs rupiah.
Sayangnya, Darmin enggan membeberkan kebijakan seperti apa yang sanggup menahan pelemahan rupiah dan akan dikeluarkan dalam waktu dekat.
"Kita akan siapkan kebijakan untuk menjawab (pelemahan) tapi mungkin satu atau dua hari lah," pungkas Darmin. (Fik/Nrm)