Sukses

Defisit Anggaran 2015 Melebar Jadi Rp 318,5 Triliun

Pencapaian pendapatan negara (sementara) sebesar Rp 1.491,5 triliun atau mencapai 84,7 persen dari sasaran APBN-P 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Sasa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) yang sudah lebih dari satu tahun, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 lebih rendah dari target yang telah ditetapkan antara pemerintah dan DPR. Kondisi tersebut mengakibatkan pembengkakan kebutuhan utang untuk menambal kekurangan anggaran.

Dari keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Senin (4/12/2015), melesetnya anggaran negara terbukti dari pencapaian pendapatan negara (sementara) sebesar Rp 1.491,5 triliun atau mencapai 84,7 persen dari sasaran APBN-P 2015 sebesar Rp 1.761,6 triliun.

Terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.235,8 triliun atau 83 persen dari target Rp 1.489,3 triliun. Total penerimaan pajak yang bisa terkumpul (neto) Rp 1.055 triliun atau 81,5 persen dari asumsi Rp 1.294 triliun. Sumber lainnya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hanya sanggup terkumpul 93,8 persen dari target Rp 269,1 triliun menjadi Rp 252,4 triliun.

Pada pos belanja negara (sementara) tahun lalu, realisasinya mencapai Rp 1.810 triliun atau 91,2 persen dari pagu di APBN-P 2015 sebesar Rp 1.984,1 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.187,1 triliun atau 90 persen dari target Rp 1.319,5 triliun.

Belanja tersebut meliputi, belanja Kementerian dan Lembaga 91,1 persen dari pagu. Secara keseluruhan realisasi belanja Kementerian dan Lembaga Rp 724,3 triliun atau lebih tinggi dibanding kinerja tahun lalu Rp 577,2 triliun. Sementara belanja non Kementerian dan Lembaga mencapai 88,3 persen dari pagu.

Anggaran transfer daerah dan dana desa (sementara) di 2015 mencapai Rp 623 triliun atau 93,7 persen dari proyeksi Rp 664,6 triliun. Sedangkan anggaran dana desa yang mulai dialokasikan di 2015 sebesar Rp 20,8 triliun.

"Defisit anggaran melebar menjadi Rp 318,5 triliun (2,80 persen terhadap PDB), sedangkan target di APBN-P 2015 sebesar Rp 222,5 triliun (1,9 persen). Hal itu berimplikasi pada realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp 329,4 triliun atau 147,3 persen dari target APBN-P 2015," jelas Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro.

Realisasi menambal defisit itu berasal dari utang dalam negeri (neto) sebesar Rp 309,3 triliun dan pembiayaan luar negeri (neto) Rp 20 triliun. Berdasarkan realisasi defisit anggaran dan pembiayaan anggaran, maka dalam pelaksanaannya ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 10,8 triliun.

"Outstanding utang per 31 Desember 2015 mencapai Rp 3.089 triliun dengan rasio 27 persen terhadap PDB. Rasio ini masih aman atau jauh di bawah batas 60 persen dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara," ucap Bambang.

Kondisi penerimaan negara yang tergerus tidak terlepas dari realisasi indikator ekonomi makro yang melenceng dari target APBN-P 2015. Pertumbuhan ekonomi pada 2015 diperkirakan hanya mencapai 4,73 persen dari target 5,7 persen. Inflasi terkendali dengan proyeksi pencapaian 3,1 persen atau di bawah sasaran 5 persen.

Tingkat Bunga SPN 3 Bulan dari proyeksi 6,2 persen, realisasinya 5,97 persen. Sementara kurs rupiah terdepresiasi cukup dalam dengan realisasi Rp 13.392 per dolar AS atau meleset dari target Rp 12.500 per dolar AS.


Harga minyak dunia merosot dari asumsi US$ 60 per barel menjadi US$ 50 per barel. Lifting minyak hanya tercapai 779 ribu barel per hari atau kurang dari target 825 ribu barel per hari. Dan produksi gas juga sedikit lebih rendah yakni 1.195 MBOEPD, sedangkan targetnya 1.221 MBOEPD.

"Kurs rupiah tertekan karena faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan AS dan depresiasi Yuan. Dari internal, depresiasi terjadi karena permintaan valas untuk bayar utang dan dividen," jelas Menkeu Bambang.

Diakui Bambang, perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2015 berdampak terhadap penerimaan perpajakan, terutama di sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan. Realisasi penerimaan perpajakan juga dipengaruhi melemahnya impor dan harga-harga komoditas, terutama yang menjadi ekspor utama Indonesia, yakni CPO dan komoditas pertambangan.

"Indonesia tidak lepas dari pengaruh ekonomi global yang mengalami penurunan. Tapi kinerja perekonomian kita masih lebih baik, ditambah prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan APBN sehingga ketahanan dan kesinambungan fiskal tetap terjaga dengan baik," cetus Bambang. (Fik/Gdn)


**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

Video Terkini