Liputan6.com, Jakarta - Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah berlaku. Kekhawatiran rupiah akan semakin terdepresiasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) begitu kuat mengingat masih ada sentimen negatif dari eksternal yang akan membayang-bayangi pergerakan kurs rupiah.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan, ada beberapa faktor eksternal dan internal yang perlu diwaspadai pemerintah karena akan berdampak pada nilai tukar di era pasar bebas ASEAN atau MEA tahun ini.
"Dari internal, fokus investor mencermati pelebaran defisit anggaran karena ada potensi lambannya penyerapan anggaran serta efektivitas paket kebijakan yang masih belum terlihat," terang Josua saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dari sisi eksternal, diakui Josua, sentimen negatif berasal dari kenaikan suku bunga The Federal Reserves secara bertahap. Kemudian potensi Bank of Japan dan Bank Eropa untuk menambah stimulus moneter sehingga dolar AS bakal semakin super, akhirnya menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
"Parahnya lagi, OPEC diprediksi belum akan menurunkan produksi minyak sehingga bisa menekan harga minyak dunia. Dengan begitu, harga komoditas ikut turun dan melemahkan kurs mata uang negara berkembang. Hal itu yang harus diwaspadai pemerintah dan BI tahun ini," jelasnya.
Josua mengatakan, pemerintah perlu memanfaatkan MEA untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia dan memacu ekspor. Berkomitmen menjalankan hilirisasi industri dan stop mengurangi ekspor komoditas. Dengan demikian, produk Indonesia memiliki nilai tambah besar yang pada akhirnya dapat menaikkan jumlah devisa.
"Pemerintah harus konsisten menerapkan insentif bagi eksportir yang menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan Indonesia karena selama ini suplai dolar hanya berasal dari BI. Jadi aturan DHE perlu dioptimalkan lagi," imbaunya.
Tanpa hilirisasi, kata Josua, Indonesia hanya akan menjadi pasar yang diserbut produk-produk impor asal negara ASEAN lain, khususnya China. Kondisi tersebut, diakuinya, akan menekan neraca perdagangan Indonesia dan berimbas terhadap kurs rupiah.
"Kita hanya akan menjadi objek serbuan barang impor dari negara lain, sehingga neraca perdagangan kita lebih menderita. Tapi dengan memperkuat hilirisasi industri, ekspor Indonesia bakal tertolong dan ujung-ujungnya rupiah dapat lebih stabil," tukas Josua. (Fik/Zul)