Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan secara umum masih tingginya persentase kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang masih belum bisa dikendalikan pemerintah. Oleh sebab itu, mereka yang berada di kelompok rentan miskin bisa dengan mudah tergelincir ke dalam kategori miskin.
"Ketika tidak ada kebijakan yang bisa mengerek pendapatan masyarakat untuk naik, maka tentu saja makin tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan minimal. Jadi ketika pendapatan tidak naik, kemudian dibarengi kenaikan harga pokok dan terjadi penyempitan lapangan pekerjaan formal, ini tentu saja akan mendorong kelompok rentan miskin masuk ke kemiskinan. Jadi tidak ada faktor tunggal, misalnya disebabkan rokok semata. Jika seperti itu analisisnya tidak lengkap dan jadi misleading," dia menjelaskan di Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Karena itu, dia menilai lebih baik pemerintah fokus menciptakan lapangan pekerjaan di sektor formal. Sebab selama tidak ada ketersediaan lapangan kerja yang memadai, dipastikan akan berdampak terhadap naiknya angka kemiskinan.
Hal ini diungkapkan Enny menjawab penilaian bahwa beras, rokok, dan bensin membuat rakyat Indonesia kian miskin. Seperti diberitakan Liputan6.com, Rabu (6/1/2016), Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan rokok merupakan salah satu penyumbang terbesar garis kemiskinan di Indonesia. ‎
Baca Juga
Sebagian masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan kuat untuk membeli rokok. Dampaknya, perusahaan rokok pun makin lama makin untung.
Advertisement
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai berkembangnya perusahaan rokok, hingga menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan di Indonesia sudah termasuk kategori lampu merah. Pemerintah pun akan mencari cara untuk membatasi peredaran rokok.
Baca Juga
"‎Coba perusahaan apa yang sekarang terbesar di Indonesia. Salah satunya, hampir semua perusahaan rokok. Sampoerna sekarang begitu hebatnya. Bisnis rokok ini bukan turun, naik dia. Jadi memang itu suatu tanda yang lampu merah sebenarnya yang kita harus atasi," kata JK.
JK menegaskan rokok bukanlah kebutuhan pokok. Mereka yang terbiasa merokok harus meninggalkan kebiasaan tersebut, apalagi yang termasuk penghasilan bawah.
Perihal ini, Enny mengakui bahwa struktur pendapatan masyarakat penghasilan menengah ke bawah atau miskin ke rentan miskin memang 70 persen untuk konsumsi makanan dan non-makanan mencapai 30 persen.
Artinya, ketika porsi terbesar adalah makanan lantas terjadi kenaikan harga misalkan sebesar 10 persen digunakan untuk membeli rokok, maka bobot pengeluaran kelompok itu jadi tinggi. Namun, itu hanya persentase dan tidak menjadi faktor tunggal.
"Jadi rokok bukan penyebab kemiskinan. Bahwa terjadi kenaikan persentase pengeluaran memang iya, sehingga terkesan seolah-olah harga rokok tinggi jadi penyebab kemiskinan. Namun analisis BPS tidak lengkap," ujar dia.
Â
Adapun jika kemudian akibat kenaikan cukai harga rokok menjadi tinggi, menurut dia, itu faktor alamiah. Sementara dari sisi konsumen juga akan ada penyesuaian konsumsi setelah harga rokok naik.
"Kan, ada variabel saling berkaitan. Misalnya cukai rokok juga tidak hanya penerimaan negara saja, tapi mengakomodasi kesehatan. Memang banyak multitarget, tapi tidak bisa menyalahkan satu kebijakan," ia menegaskan. (Nrm/Zul)**
Â