Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah merilis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 beberapa waktu lalu. Rapor APBN pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini dinilai kurang memuaskan karena berbagai pencapaian yang meleset dari target yang sudah ditetapkan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati menilai realisasi target penerimaan pajak yang melampaui angka Rp 1.000 triliun merupakan hal wajar lantaran setiap tahun mengalami peningkatan dari sisi nilai. Namun jika dibandingkan target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294 triliun, pencapaian tersebut hanya 81 persen sebesar Rp 1.055 triliun.
"Wajar kalau penerimaan negara, termasuk dari pajak meningkat dari tahun ke tahun. Tidak ada yang spektakuler atau prestasi. Tapi dari target tidak tercapai, malah belanja yang dibiayai dari utang spektakuler karena kenaikan belanja sekitar Rp 500 triliun," ujarnya saat Diskusi Kedai Kopi di Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Baca Juga
Enny menyoroti, defisit keseimbangan primer justru melonjak dari Rp 66,8 triliun menjadi Rp 161,3 triliun di posisi 30 Oktober 2015. Kondisi tersebut, sambungnya jarang terungkap karena menandakan kas negara tekor meskipun penerimaan negara mencapai Rp 1.491 triliun.
"Alih-alih mau menurunkan defisit dengan berutang, tapi malah tekor. Utang tidak haram, tapi utang justru tidak menambah modal atau penerimaan pemerintah karena tidak digunakan untuk kegiatan produktif, yang ada hanya kekhawatiran refinancing, bisa tidak membayar utangnya kembali supaya tidak menimbulkan risiko," tegasnya.
Dirinya mengaku, pemerintah Indonesia perlu belajar dari Yunani dan Puerto Rico yang menghadapi gagal bayar utang (default) akibat mismanajemen atau salah mengelola anggaran.
"Rasio utang terhadap PDB Jepang sampai 100 persen, AS pun demikian tapi aman-aman saja tuh. Jadi utang pemerintah Indonesia sekarang ini bukan lagi masih aman atau tidak, tapi bagaimana pengelolaannya ke depan," papar Enny.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno menjelaskan, dari 7 indikator asumsi makro di APBN-P 2015, sebanyak 4 indikator mencapai rapor merah dan 3 indikator biru. Capaian baik, lanjutnya terlihat di indikator inflasi, tingkat bunga SPN 3 bulan dan harga minyak (ICP).
Sedangkan kinerja APBN-P 2015 yang tercatat meleset dari target, antara lain pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah, lifting minyak dan produksi gas bumi. Rapor penerimaan pajak dinilai Hendrawan pun masih kurang, termasuk angka kemiskinan dan indeks gini rasio.
"Tapi sebenarnya, pencapaian APBN-P 2015 tidak buruk-buruk amat. Pertumbuhan ekonomi 4,7 persen sebenarnya masih oke dibanding negara lain, karena China saja sudah turun menjadi 6,1 persen dari biasanya dua digit. Jadi nanti kita akan diskusi mengevaluasi realisasi APBN-P tahun lalu dengan pemerintah," pungkas Hendrawan.
Gambaran realisasi APBNP 2015
Pencapaian pendapatan negara (sementara) sebesar Rp 1.491,5 triliun atau mencapai 84,7 persen dari sasaran APBN-P sebesar 1.761,6 triliun.
Terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.235,8 triliun atau 83 persen dari target Rp 1.489,3 triliun. Total penerimaan pajak yang bisa terkumpul (netto) Rp 1.055 triliun atau 81,5 persen dari asumsi Rp 1.294 triliun. Sumber lainnya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang hanya sanggup terkumpul 93,8 persen dari target Rp 269,1 triliun menjadi Rp 252,4 triliun.
Pada pos belanja negara (sementara) tahun ini, realisasinya mencapai Rp 1.810 triliun atau 91,2 persen dari pagu di APBN-P 2015 sebesar Rp 1.984,1 triliun. Terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 1.187,1 triliun atau 90 persen dari target Rp 1.319,5 triliun.
Meliputi, belanja Kementerian/Lembaga 91,1 persen dari pagu. Secara keseluruhan realisasi belanja Kementerian/Lembaga Rp 724,3 triliun atau lebih tinggi dibanding kinerja tahun lalu Rp 577,2 triliun. Sementara belanja non Kementerian/Lembaga mencapai 88,3 persen dari pagu.
Anggaran transfer daerah dan dana desa (sementara) di tahun ini mencapai Rp 623 triliun atau 93,7 persen dari proyeksi p 664,6 triliun. Sedangkan anggaran dana desa yang mulai dialokasikan di tahun ini sebesar Rp 20,8 triliun.
"Jadi defisit anggaran melebar jadi Rp 318,5 triliun (2,80 persen terhadap PDB), sedangkan target di APBN-P 2015 sebesar Rp 222,5 triliun (1,9 persen). Hal itu berimplikasi pada realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp 329,4 triliun atau 147,3 persen dari target APBN-P," jelas Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro.
Realisasi menambal defisit itu berasal dari utang dalam negeri (neto) sebesar Rp 309,3 triliun dan pembiayaan luar negeri (neto) Rp 20 triliun. Berdasarkan realisasi defisit anggaran dan pembiayaan anggaran, maka dalam pelaksanaannya ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 10,8 triliun.
"Outstanding utang per 31 Desember 2015 mencapai Rp 3.089 triliun dengan rasio 27 persen terhadap PDB. Rasio ini masih aman atau jauh di bawah batas 60 persen dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara," ucap Bambang.
Kondisi penerimaan negara yang tergerus tidak terlepas dari realisasi indikator ekonomi makro yang melenceng dari target APBN-P 2015. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan hanya mencapai 4,73 persen dari target 5,7 persen. Inflasi terkendali dengan proyeksi pencapaian 3,1 persen atau di bawah sasaran 5 persen.
Tingkat Bunga SPN 3 Bulan dari proyeksi 6,2 persen, realisasinya 5,97 persen. Sementara kurs rupiah terdepresiasi cukup dalam dengan realisasi Rp 13.392 per dolar AS atau meleset dari target Rp 12.500 per dolar AS.
Harga minyak dunia merosot dari asumsi US$ 60 per barel menjadi US$ 50 per barel. Lifting minyak hanya tercapai 779 ribu barel per hari atau kurang dari target 825 ribu barel per hari. Dan produksi gas juga sedikit lebih rendah yakni 1.195 MBOEPD, sedangkan targetnya 1.221 MBOEPD.
"Kurs rupiah tertekan karena faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan AS dan depresiasi Yuan. Dari internal, depresiasi terjadi karena permintaan valas untuk bayar utang dan dividen,"
Diakui Bambang, perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2015 berdampak terhadap penerimaan perpajakan, terutama di sektor industri pengolahan dan sektor pertambangan. Realisasi penerimaan perpajakan juga dipengaruhi melemahnya impor dan harga-harga komoditas, terutama yang menjadi ekspor utama Indonesia, yakni CPO dan komoditas pertambangan.
"Indonesia tidak lepas dari pengaruh ekonomi global yang mengalami penurunan. Tapi kinerja perekonomian kita masih lebih baik, ditambah prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan APBN sehingga ketahanan dan kesinambungan fiskal tetap terjaga dengan baik," cetus Bambang. (Fik/Gdn)
Advertisement