Liputan6.com, Jakarta - Ketergantungan Indonesia atas dana asing serta tingginya rasio pembayaran utang terhadap pendapatan atau debt service ratio (DSR) yang telah mencapai lebih dari 50 persen merupakan pemicu utama gejolak nilai tukar rupiah. Kondisi tersebut kerap menimbulkan kecemasan ketika dana asing itu berduyun-duyun kabur dari Negara ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution dalam keterangan resmi mengungkapkan, Indonesia selalu diliputi rasa cemas sejak 2012 hingga saat ini, terutama melihat pergerakan nilai tukar rupiah yang sangat fluktuatif, naik dan turun.
"Dilihat dari 2012 sampai sekarang, sebentar-sebentar ada kecemasan. Nilai tukar rupiah volatile sekali, beda dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil," kata Darmin di Jakarta, Jumat (8/1/2015).
Baca Juga
Penyebab utamanya, dijelaskan Darmin, jumlah utang luar negeri Indonesia, baik pemerintah dan swasta cukup besar, sehingga DSR Indonesia sudah menembus lebih dari 50 persen. Padahal, sambungnya, DSR selalu terjaga tidak lebih dari 20 persen di masa Orde Baru.
Pertumbuhan utang luar negeri paling cepat, lanjutnya, dialami swasta. Jumlahnya bahkan melampaui utang pemerintah sejak dua tahun lalu sehingga DSR pun tumbuh semakin cepat.
"Dulu di zaman Orde Baru, kita memelihara DSR jangan lebih dari 20 persen. Angkanya naik jadi 30 persen pada waktu krisis 1998, sekarang angkanya sudah tinggi sekali 50 persen lebih," paparnya.
Bukan tanpa sebab. Menurutnya, pemerintah dan swasta membutuhkan utang karena tabungan atau anggaran negara tidak cukup membiayai investasi di Indonesia. Negara ini terpaksa harus meminjam dari luar negeri.
Berutang, Darmin bilang, merupakan salah satu pilihan yang harus diambil akibat kurangnya kemampuan Indonesia mengumpulkan penerimaan negara. Pilihan lainnya, rela menerima pertumbuhan rendah supaya bisa mendanai investasi berdasarkan tabungan yang dimiliki.
Permasalahannya, Indonesia perlu pertumbuhan tinggi, lebih dari 6 persen untuk menyerap 2,5 juta tambahan angkatan kerja setiap tahun. "Jadi kita harus utang, dan mengundang dana dari luar kalau pinjam sudah tidak cukup. Kenyataannya, memang tidak cukup," terang Darmin.
Tidak cukup hanya berutang. Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) berusaha menarik investasi asing dan mengundang dana segar dari luar untuk menanamkan modalnya di pasar modal dan portofolio surat utang.
Tak heran bila surat utang Indonesia sebanyak 38 persen dimiliki investor asing, sementara di pasar modal, ada dana asing 60 dengan porsi 60 persen. Menurutnya, bandingkan dengan negara lain, Thailand yang hanya 12-14 persen.
"Jadi jangan heran kalau ada dana asing pergi sedikit, kurs rupiah langsung goyang," keluh Darmin.
Guna mengatasi volatilitas dan perlambatan di bidang keuangan, kurs dan pertumbuhan ekonomi, Darmin mengaku, pemerintah harus cepat melaksanakan paket-paket deregulasi. Paling utama, menyangkut investasi, ekspor dan termasuk di dalamnya persoalan infrastruktur.
"Kita keluarkan peraturan pemerintah untuk proyek-proyek strategis, perubahan aturan perundangan harga gas, investasi, kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti inland free trade, pusat logistik berikat. Terbitkan Perpres percepatan pembangunan kilang dan sebagainya," tandas Darmin. (Fik/Gdn)
Untuk lebih lengkapnya, baca: Ekonomi Indonesia Sebenarnya Seperti Apa?
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6