Liputan6.com, Jakarta Harga minyak berjangka belum juga menunjukkan tajinya. Minyak berjangka ditutup dengan kerugian pada hari Kamis untuk sesi keempat berturut-turut, karena gejolak di China terus meningkatkan risiko perlambatan permintaan energi dari salah satu konsumen top dunia.
Dengan harga sudah pada tingkat terendah dalam lebih dari 11 tahun, analis telah menimbang kemungkinan bahwa harga minyak AS bisa terjun sampai US$ 20 per barel tahun in.
Baca Juga
Dilansir dari Marketwatch, harga patokan minyak dunia, Brent, untuk pengiriman Desember turun 1,4 persen atau 48 sen ke level US$ 33,75 di Bursa ICE Futures London. Menurut data Factset, harga tersebut adalah harga terendah sejak Juni 2004, atau 11 tahun lalu.
Advertisement
Di New York Mercantile Exchange, harga minyak AS, West Texas Intermediate CLG6 untuk pengiriman Februari turun 70 sen, atau 2,1% untuk menetap di US$ 33,27 per barel di New York Mercantile Exchange. Ini diperdagangkan paling rendah di level US$ 32,10 tetapi juga sempat menyentuh level tertinggi di US$ 34,26.
Gejolak segar di pasar saham China, yuan jatuh dan serangkaian data ekonomi yang lemah dalam beberapa bulan terakhir dilihat sebagai tanda-tanda bahwa ekonomi terbesar kedua di dunia sedang melambat pada saat dunia dibanjiri minyak mentah. Dan kekhawatiran seputar China telah memberikan kontribusi untuk kekalahan di pasar saham global.
"Negara-negara yang melihat hits besar kekayaan diukur dalam bentuk crash pasar keuangan tidak cenderung menghasilkan banyak pertumbuhan permintaan minyak," kata Tom Kloza, kepala global analisis energi pada Layanan Informasi Harga Minyak
Sementara Staff manager dari Tyche Capital Tariq Zahir mengatakan, ia yakin harga WTI dapat jatuh ke pertengahan sampai menyentuh level rendah US$ 20 , dan seberapa cepat mereka sampai di sana mungkin akan mengejutkan semua orang. Situasi dengan Iran dan Arab Saudi akan menjaga pasar "berlutut dalam perang harga," tuturnya. (Zul/Ndw)
Â