Sukses

Bisakah PLTN Atasi Krisis Listrik?

Pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disebut-sebut akan membawa berkah bagi sebuah negara,

Liputan6.com, Jakarta Pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) disebut-sebut akan membawa berkah bagi sebuah negara, termasuk Indonesia seperti mengatasi krisis listrik dan menyuburkan tanah di lokasi sekitar PLTN. Pernyataan itu ditangkis Pengamat Kelistrikan maupun Anggota Dewan Energi Nasional (DEN).

Direktur Eksekutif Intitute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa saat Diskusi Energi Kita menegaskan bahwa pembangkit nuklir tidak akan serta merta mengatasi persoalan krisis listrik maupun pemadaman listrik di Indonesia.

"PLTN tidak akan mengatasi krisis listrik di Indonesia. Jepang saja mengatakan share listrik dari PLTN di 2030 hanya 20 persen, sebelumnya PLTN Fukushina mampu menyumbang 30 persen sumber energi listrik, karena mereka tidak percaya lagi PLTN aman, murah dan membantu pasokan listrik," tuturnya di Jakarta, Minggu (10/1/2016).

Lebih jauh dijelaskan Fabby, masa konstruksi pembangkit listrik yang biasa dibangun PT PLN (Persero) memakan waktu 8-10 tahun, tapi PLTN generasi 3+ (tiga plus) membutuhkan 10 tahun lebih tahapan konstruksi.

Sebelum memulai fase tersebut, teknologi PLTN harus di-review selama 5-8 tahun dengan investasi US$ 1 miliar hanya untuk mengantongi lisensi teknologi PLTN supaya bisa dibangun.

Sementara Badan Pengawas Teknologi Nuklir (Bapeten) menyebut, dibutuhkan waktu 5 tahun untuk membangun PLTN. Ditambah upaya mencari sumber daya manusia 3 tahun, pembebasan lahan dan mengumpulkan investasi, maka diperkirakan menghabiskan waktu 11 tahun.

"Untuk teknologi 3+ yang baru akan dibangun di Inggris saja, biaya investasinya mencapai US$ 14 miliar-US$ 15 miliar untuk kelas 1.200-1.300 Megawatt (Mw). Belum lagi persoalan limbahnya yang harus disimpan puluhan tahun lamanya," tutur Fabby.

Senada, Anggota DEN Rinaldy Dalimi mengatakan, pembangunan PLTN tidak akan menyelesaikan masalah pemadaman listrik. Menurutnya, jika PLTN lebih dari 1.000 Mw dibangun di Kalimantan Timur dengan beban puncak 600 Mw, maka jelas tidak rasional.

"Tidak akan bisa mengatasi pemadaman listrik saat ini, apalagi kalau waktunya 80 tahun terlalu panjang. Lebih baik maksimalkan waktu 30 tahun dari sekarang untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBTKE)," sarannya.

Indonesia, lanjutnya, harus mengubah konsep membangun pembangkit listrik besar yang dipusatkan di satu daerah dengan media kabel sebagai distribusi listrik. Ubah dengan konsep membangun pembangkit listrik kecil-kecil yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia, seperti karakteristik EBTKE.

"Sebanyak lebih dari 6.000 pulau harus dilistriki, jadi gunakan EBTKE secara masif. EBTKE akan menjadi solusi, karena Prancis saja yang punya reaktor nuklir banyak akan beralih pada EBTKE, karena listrik dari PLTN hanya mampu menyumbang 25 persen di 2022," imbau Rinaldi.

Dirinya juga menepis pendapat mengenai pembangunan PLTN di suatu daerah akan menyuburkan tanah di lokasi PLTN berdiri. "Batan memang sudah bisa buat varietas unggul padi, tapi bukan berarti PLTN di situ tanahnya jadi subur. Informasi ini bisa jadi miss dan berpengaruh pada pengambilan keputusan," tandas Rinaldi. (Fik/Zul)